Minggu, 09 Desember 2012

Mungkin Engkau Tak Memusuhi Mereka, Tapi Tetaplah Berhati-Hati

MUNGKIN ENGKAU TAK MEMUSUHI MEREKA, TAPI TETAPLAH BERHATI-HATI
Engkau yang muda dan yang masih sangat emosional, dengarlah ini …
Bijak sekali bagimu untuk tidak menganggap mereka yang memusuhimu sebagai musuh.
Tapi, kau anggap mereka musuhmu atau tidak, tujuan mereka adalah mengalahkanmu, dengan merusak kedamaianmu melalui penghinaan dan fitnah, dengan menghalangi langkah maju dan naikmu.
Maka, mengapakah ada orang yang demikian ceroboh memamerkan kelemahan sebagai cara untuk tampil keren dan gaul?
Tahukah engkau bahwa mengeluhkan kegalauanmu karena penghinaan oleh orang lain adalah tanda yang ditunggu-tunggu oleh para penghinamu?
Mereka bersuka cita mengetahui tombol minder, saklar sedih, dan sumbu kemarahan liarmu.
Dengan kelemahanmu yang mereka ketahui dan dengan kepolosanmu untuk mengumumkan ketepatan penghinaan mereka, hidupmu ada di bawah telapak kaki mereka.
Maka jika engkau mengeluh dan bertanya mengapa orang sebaik dirimu selalu dihina, ingatlah bahwa orang baik juga harus pintar. 

Orang baik dengan logika kerdil akan disiksa oleh orang tidak baik yang cerdik.
 
Be smart. Keep your pains to yourself.
 
Yang cerdas. Simpanlah deritamu pada dirimu saja.
Tampillah gagah dan ceria.
Kekhawatiran dan kesedihanmu adalah urusan pribadimu.
Tugasmu adalah menjadi jiwa yang kuat dan bermanfaat bagi dirimu, bagi keluargamu dan bagi sesama.
 
I love you all guys!
Mario Teguh

Wanita Idaman

WANITA IDAMAN
Rendah hati padahal cantik, mendahulukan kebahagiaan laki-lakinya, menyemangati laki-lakinya untuk mencapai kehebatan, mengajukan laki-lakinya untuk kedudukan yang tinggi, memelihara keindahan tubuh, tapi tidak khawatir tubuhnya berubah sementara untuk mengandung anak-anak dari laki-laki kecintaannya, berpendidikan tinggi bukan untuk menjauhkan diri dari keluarga untuk mengejar tambahan uang, tapi untuk menghebatkan karir suaminya dan pendidikan anak-anaknya, menemukan kebahagiaan dalam kedekatan yang mesra dengan laki-lakinya, dan membuat laki-lakinya bertarung dalam kemapanan hati karena ada wanita hebat yang akan merawat luka-luka dan mendamaikan hatinya.
 
Mario Teguh – Loving you all as always
 
Semoga Anda, laki-laki baik hati yang masih sendiri – ditemukan oleh Tuhan dengan wanita idaman Anda.
Aamiin
 
Dan Anda, wanita baik hati yang masih sendiri – semoga Anda ditemukan dengan belahan jiwa Anda yang sesungguhnya sudah lama merindukan Anda.
Aamiin

Rabu, 05 Desember 2012

Kebijakan Pemerintah Dalam Pelayanan Kesehatan Lansia

KATA PENGANTAR

    Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami telah dapat menyelesaikan makalah “Kebijakan Pemerintah Dalam Pelayanan Kesehatan Lansia”.
    Kami menyadari bahwa masih terdapat kesalahan pada makalah ini. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan di masa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Padang,    Oktober 2012

Penulis


DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I : Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Bab II : Pembahasan
A.    Hukum Pelindungan Lansia
B.    Pembinaan Lansia
C.    Kebijakan Depkes dalam Pembinaan Lansia
D.    Kegiatan-kegiatan dalam Pembinaan Lansia
Bab III : Penutup
A.    Kesimpulan
Daftar Pustaka


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak dasar manusia dan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu kesehatan perlu dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya. Untuk mewujudkan hal tersebut pemerintah telah mencanangkan visi Indonesia sehat 2010 yaitu gambaran masyarakat Indonesia di masa depan yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, adil, merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi tingginya. Keperawatan sebagai bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan nasional turut serta ambil bagian dalam mengantisipasi peningkatan jumlah populasi lansia dengan menitikberatkan pada penanganan di bidang kesehatan dan keperawatan.
Kecenderungan meningkatnya Lansia yang tinggal di perkotaan bisa jadi disebabkan bahwa tidak banyak perbedaan antara rural dan urban. Karena pemusatan penduduk di suatu wilayah dapat menyebabkan dan membentuk wilayah urban. Suatu contoh bahwa untuk membedakan wilayah rural dan urban di antara kota Jakarta dan Bekasi atau antara Surabaya dengan Sidoarjo serta kota-kota lainnya kelihatannya semakin tidak jelas. Oleh karena itu benarlah kata orang bahwa Pantura adalah kota terpanjang di dunia, tidak jelas perbatasan antara satu kota dengan kota lainnya.
Alasan lain mengapa pada tahun 2020 ada kecenderungan jumlah penduduk Lansia yang tinggal di perkotaan menjadi lebih banyak karena para remaja yang saat ini sudah banyak mengarah menuju kota, mereka itu nantinya sudah tidak tertarik kembali ke desa lagi, karena saudara, keluarga dan bahkan teman-teman tidak banyak lagi yang berada di desa. Sumber penghidupan dari pertanian sudah kurang menarik lagi bagi mereka, hal ini juga karena pada umumnya penduduk desa yang pergi mencari penghidupan di kota, pada umumnya tidak mempunyai lahan pertanian untuk digarap sebagai sumber penghidupan keluarganya.
Selain itu bahwa di masa depan sektor jasa mempunyai peran yang penting sebagai sumber penghidupan. Oleh karena itu suatu negara yang tidak mempunyai sumber daya alam yang cukup maka di era globalisasi akan beralih kepada sektor jasa sebagai sumber penghasilannya, contoh negara Singapura. Pada hal sektor jasa dapat berjalan dan hidup hanya di daerah perkotaan.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hukum Perlindungan Lansia
Empat peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lanjut usia, yaitu :
1.    Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.
Yang menjadi dasar pertimbangan dalam undang-undang ini, antara lain adalah ”bahwa pelaksanaan pembangunan yang bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, telah menghasilkan kondisi sosial masyarakat yang makin membaik dan usia harapah hidup makin meningkat, sehingga jumlah lanjut usia makin bertambah”.
Selanjutnya dalam ketentuan umum, memuat ketentuan-ketentuan yang antara lain dimuat mengenai pengertian lanjut usia, yaitu seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.
Asas peningkatan kesejahteraan lanjut usia adalah keimanan, dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kekeluargaan, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam perikehidupan. Dengan arah agar lanjut usia tetap dapat diberdayakan sehingga berperan dalam kegiatan pembangunan dengan memperhatikan fungsi kearifan, pengetahuan, keahlian, keterampilan, pengalaman, usia, dan kondisi fisiknya, serta terselenggaranya pemeliharaan taraf kesejahteraannya.
Selanjutnya tujuan dari semua itu adalah untuk memperpanjang usia harapan hidup dan masa produktif, terwujudnya kemandirian dan kesejahteraannya, terpeliharanya sistem nilai budaya dan kekerabatan bangsa Indonesia serta lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Lanjut usia mempunyai hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai penghormatan dan penghargaan kepada lanjut usia diberikan hak untuk meningkatkan kesejahteraan yang meliputi :
•    pelayanan keagamaan dan mental spiritual
•    pelayanan kesehatan
•    pelayanan kesempatan kerja
•    pelayanan pendidikan dan pelatihan
•    kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana umum
•    kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum
•    perlindungan sosial
•    bantuan sosial
Dalam undang-undang juga diatur bahwa Lansia mempunyai kewajiban, yaitu :
•    membimbing dan memberi nasihat secara arif dan bijaksana berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya, terutama di lingkungan keluarganya dalam rangka menjaga martabat dan meningkatkan kesejahteraannya;
•    mengamalkan dan mentransformasikan ilmu pengetahuan, keahlian, keterampilan, kemampuan dan pengalaman yang dimilikinya kepada generasi penerus;
•    memberikan keteladanan dalam segala aspek kehidupan kepada generasi penerus.
Pemerintah bertugas mengarahkan, membimbing, dan menciptakan suasana yang menunjang bagi terlaksananya upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia. Sedangkan pemerintah, masyarakat dan keluarga bertanggungjawab atas terwujudnya upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia.

2.    Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Lanjut Usia.
Upaya peningkatan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia, meliputi :
a.    Pelayanan keagamaan dan mental spiritual, antara lain adalah pembangunan sarana ibadah dengan penyediaan aksesibilitas bagi lanjut usia.
b.    Pelayanan kesehatan dilaksanakan melalui peningkatan upaya penyembuhan (kuratif), diperluas pada bidang pelayanan geriatrik/gerontologik.
c.    Pelayanan untuk prasarana umum, yaitu mendapatkan kemudahan dalam penggunaan fasilitas umum, keringanan biaya, kemudahan dalam melakukan perjalanan, penyediaan fasilitas rekreasi dan olahraga khusus.
d.    Kemudahan dalam penggunaan fasilitas umum, yang dalam hal ini pelayanan administrasi pemberintahan, adalah untuk memperoleh Kartu Tanda Penduduk seumur hidup, memperoleh pelayanan kesehatan pada sarana kesehatan milik pemerintah, pelayanan dan keringanan biaya untuk pembelian tiket perjalanan, akomodasi, pembayaran pajak, pembelian tiket untuk tempat rekreasi, penyediaan tempat duduk khusus, penyediaan loket khusus, penyediaan kartu wisata khusus, mendahulukan para lanjut usia. Selain itu juga diatur dalam penyediaan aksesibilitas lanjut usia pada bangunan umum, jalan umum, pertamanan dan tempat rekreasi, angkutan umum. Ketentuan mengenai pemberian kemudahan dalam melakukan perjalanan diatur lebih lanjut oleh Menteri sesuai dengan bidang tugas masing-masing.

3.    Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 2004 Tentang Komisi Nasional Lanjut Usia.
a.    Keanggotaan Komisi Lanjut Usia terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat yang berjumlah paling banyak 25 orang.
b.    Unsur pemerintah adalah pejabat yang mewakili dan bertanggungjawab di bidang kesejahteraan rakyat, kesehatan, sosial, kependudukan dan keluarga berencana, ketenagakerjaan, pendidikan nasional, agama, permukiman dan prasarana wilayah, pemberdayaan perempuan, kebudayaan dan pariwisata, perhubungan, pemerintahan dalam negeri. Unsur masyarakat adalah merupakan wakil dari organisasi masyarakat yang bergerak di bidang kesejahteraan sosial lanjut usia, perguruan tinggi, dan dunia usaha.
c.    Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dapat dibentuk Komisi Provinsi/Kabupaten/Kota Lanjut Usia.
d.    Pembentukan Komisi Daerah Lanjut Usia ditetapkan oleh Gubernur pada tingkat provinsi, dan oleh Bupati/Walikota pada tingkat kabupaten/kota.

4.    Keputusan Presiden Nomor 93/M Tahun 2005 Tentang Keanggotaan Komisi Nasional Lanjut Usia.
a.    Pengangkatan anggota Komnas Lansia oleh Presiden.
b.    Pelaksanaan lebih lanjut dilakukan oleh Menteri Sosial

B.    Pembinaan Lansia
Upaya kesehatan usia lanjut adalah upaya kesehatan paripurna dasar dan menyeluruh dibidang kesehatan usia lanjut yang meliputi peningkatan kesehatan, pencegahan, pengobatan dan pemulihan. Tempat pelayanan kesehatan tersebut bisa dilaksanakan di Puskesmas- Puskesmas ataupun Rumah Sakit serta Panti- panti dan institusi lainya. Tekhnologi tepat guna dalam upaya kesehatan usia lanjut adalah tekhnologi yang mengacu pada masa usia lanjut setempat, yang didukung oleh sumber daya yang tersedia di masyarakat, terjangkau oleh masyarakat diterima oleh masyarakat sesuai dengan azas manfaat. Peran serta masyarakat dalam upaya kesehatan usia lanjut adalah peran serta masyarakat baik sebagai pemberi pelayanan kesehatan maupun penerima pelayanan yang berkaitan dengan mobilisasi sumber daya dalam pemecahan masalah usia lanjut setempat dan dalam bentuk pelaksanan pembinaan dan pengembangan upaya kesehatan usia lanjut setempat.

Tujuan Dan Sasaran Pembinaan :
a.    Tujuan Umum
Meningkatakan derajat kesehatan dan mutu kehidupan untuk mencapai masa tua yang bahagia dan berdaya guna dalam kehidupan keluarga dan masyakat sesuai dengan keberadaannya dalam strata kemasyarakatan.
b.    Tujuan Khusus
•    Meningkatkan kesadaran pada usia lanjut untuk membina sendiri kesehatannya.
•    Meningkatkan kemampuan dan peran serta masyarakat termasuk keluarganya dalam menghayati dan mengatasi kesehatan usia lanjut.
•    Meningkatkan jenis dan jangkauan kesehatan usia lanjut.
•    Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan usia lanjut.
c.    Sasaran pembinaan Secara Langsung
•    Kelompok usia menjelang usia lanjut ( 45 -54 tahun ) atau dalam virilitas dalam keluarga maupun masyarakat luas.
•    Kelompok usia lanjut dalam masa prasenium ( 55 -64 tahun ) dalam keluarga, organisasi masyarakat usia lanjut dan masyarajat umumnya.
•    Kelompok usia lanjut dalam masa senescens ( >65 tahun ) dan usia lanjut dengan resiko tinggi ( lebih dari 70 tahun ) hidup sendiri, terpencil, hidup dalam panti, penderita penyakit berat, cacat dan lain-lain.

d.    Sasaran Pembinaan Tidak Langsung
•    Keluarga dimana usia lanjut berada
•    Organisasi sosial yang bergerak didalam pembinaan kesehatan usia lanjut
•    Masyarakat luas.

C.    Kebijakan Depkes dalam Pembinaan Lansia
Kebijakan Depkes dalam pembinaan lansia merupakan bagian dari pembinaan keluarga. Pembinaan kesehatan keluarga ditujukan kepada upaya menumbuhkan sikap dan perilaku yang akan menumbuhkan kemampuan keluarga itu sendiri untuk mengatasi masalah kesehatan dengan dukungan dan bimbingan tenaga profesional, menuju terwujudnya kehidupan keluarga yang sehat. Juga kesehatan keluarga diselenggarakan untuk mewujudkan keluarga sehat kecil, bahagia dan sejahtera.
Kebijakan dimaksudkan untuk mendukung keluarga agar dapat melaksanakan fungsi keluarga secara optimal, dilakukan dengan cara: peningkatan kualitas hidup lansia agar tetap produktif dan berguna bagi keluarga dan masyarakat dengan pemberian kesempatan untuk berperan dalam kehidupan keluarga.
Dasar Hukum dan pengembangan program Pembinaan Kesehatan Usia lanjut yaitu :
a.    Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok kesehatan.
b.    Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Organisasi Departemen kesehatan
c.    Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1985 tentang Susunan Organisasi Departemen Kesehatan
d.    Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 558 Tahun 1984 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan.
e.    Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 99 a Tahun 1982 tentang berlakunya Sistem kesehatan Nasional dan RP3JPK
f.    Keputusan Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat Nomor 05 Tahun 1990 tentang Pembentukan Kelompok Kerja T etap Kesejahteraan Usia Lanjut.
g.    Surat keputusan menteri Kesehatan Nomor 134 Tahun 1990 tentang Pembentukan Tim Kerja Geatric.

D.    Kegiatan-kegiatan dalam Pembinaan Lansia
Pelayanan usia lanjut ini meliputi kegiatan upaya-upaya antara lain:
a.    Upaya promotif, yaitu menggairahkan semangat hidup bagi usia lanjut agar mereka tetap dihargai dan tetap berguna baik bagi dirinya sendiri, keluarga maupun masyarakat. Upaya promotif dapat berupa kegiatan penyuluhan, dimana penyuluhan masyarakat usia lanjut merupakan hal yang penting sebagai penunjang program pembinaan kesehatan usia lanjut yang antara lain adalah :
•    Kesehatan dan pemeliharaan kebersihan diri serta deteksi dini penurunan kondisi kesehatannya, teratur dan berkesinambungan memeriksakan kesehatannya ke puskesmas atau instansi pelayanan kesehatan lainnya.
•    Latihan fisik yang dilakukan secara teratur dan disesuaikan dengan kemampuan usia lanjut agar tetap merasa sehat dan segar.
•    Diet seimbang atau makanan dengan menu yang mengandung gizi seimbang.
•    Pembinaan mental dalam meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
•    Membina ketrampilan agar dapat mengembangkan kegemaran atau hobinya secara teratur dan sesuai dengan kemampuannya.
•    Meningkatkan kegiatan sosial di masyarakat atau mengadakan kelompok sosial.
•    Hidup menghindarkan kebiasaan yang tidak baik seperti merokok, alkhohol, kopi , kelelahan fisik dan mental.
•    Penanggulangan masalah kesehatannya sendiri secara benar
b.    Upaya preventif yaitu upaya pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya penyakit maupun komplikasi penyakit yang disebabkan oleh proses ketuaan.
Upaya preventif dapat berupa kegiatan :
•    Pemeriksaan kesehatan secara berkala dan teratur untuk menemukan secara dini penyakit-penyakit usia lanjut
•    Kesegaran jasmani yang dilakukan secara teratur dan disesuaikan dengan kemampuan usia lanjut serta tetap merasa sehat dan bugar.
•    Penyuluhan tentang penggunaan berbagai alat bantu misalnya kacamata, alat bantu pendengaran agar usia lanjut tetap dapat memberikan karya dan tetap merasa berguna
•    Penyuluhan untuk pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan pada usia lanjut.
•    Pembinaan mental dalam meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
c.    Upaya kuratif yaitu upaya pengobatan pada usia lanjut dan dapat berupa kegiatan:
•    Pelayanan kesehatan dasar
•    Pelayanan kesehatan spesifikasi melalui sistem rujukan
d.    Upaya rehabilitatif yaitu upaya mengembalikan fungsi organ yang telah menurun.
Yang dapat berupa kegiatan :
•    Memberikan informasi, pengetahuan dan pelayanan tentang penggunaan berbagai alat bantu misalnya alat pendengaran dan lain -lain agar usia lanjut dapat memberikan karya dan tetap merasa berguna sesuai kebutuhan dan kemampuan.
•    Mengembalikan kepercayaan pada diri sendiri dan memperkuat mental penderita
•    Pembinaan usia dan hal pemenuhan kebutuhan pribadi , aktifitas di dalam maupun diluar rumah.
•    Nasihat cara hidup yang sesuai dengan penyakit yang diderita.
•    Perawatan fisioterapi.

Disamping upaya pelayanan diatas dilaksanakan yang tidak kalah penting adalah penyuluhan kesehatan masyarakat yang merupakan bagian integral daripada setiap program kesehatan. Adapaun tujuan khusus program penyuluhan kesehatan masyarakat pada usia lanjut ditujukan kepada :
•    Kelompok usia lanjut itu sendiri
•    Kelompok keluarga yang memiliki usia lanjut
•    Kelompok masyarakat lingkungan usia lanjut
•    Penyelenggaraan kesehatan
•    Lintas sektoral ( Pemerintah dan swasta )

Sedangkan penyuluhan kesehatan masyarakat pada usia lanjut terdiri dari :
1.    Komponen Penyebarluasan Informasi kesehatan dengan melakukan kegiatan :
•    Mengembangkan, memproduksi dan menyebarluaskan bahan-bahan penyuluhan kesehatan masyarakat usia lanjut.
•    Meningkatkan sikap, kemampuan dan motivasi petugas puskesmas dan rujukan serta masyarakat di bidang kesehatan masyarakat usia lanjut.
•    Melengkapi puskesmas den rujukannya dengan sarana den bahan penyuluhan.
•    Meningkatkan kerjasama dengan berbagai pihak termasuk media masa agar pesan kesehatan masyarakat usia lanjut menjadi bagian integral.
•    Meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat umum den kelompok khusus seperti daerah terpencil, transmigrasi dan lain-lain.
•    Melaksanakan pengkajian den pengembangan serta pelaksanaan tekhnologi tepat guna dibidang penyebarluasan informasi.
•    Melaksanakan evaluasi secara berkala untuk mengukur dampak serta meningkatkan daya guna dan hasil guna penyuluhan.
•    Menyebarluaskan informasi secara khusus dalam keadaan darurat seperti wabah, bencana alam, kecelakaan.
2.    Komponen pengembangan potensi swadaya masyarakat di bidang kesehatan dengan kegiatan antara lain:
•    Mengembangkan sikap, kemampuan dan motivasi petugas Puskesmas dan pengurus LKMD dalam mengembangkan potensi swadaya masyarakat di bidang kesehatan.
•    Melaksanakan kemampuan dan motivasi terhadap kelompok masyarakat termasuk swasta yang melaksanakan pengembangan potensi swadaya masyarakat dibidang kesehatan usia lanjut secara sistematis dan berkesinambungan.
•    Mengambangkan, memporoduksi dan menyebarluaskan pedoman penyuluhan kesehatan usia lanjut untuk para penyelenggaraan penyuluhan, baik pemerintah maupun swasta.
3.    Komponen Pengembangan Penyelengaraan penyuluhan dengan kegiatan :
•    Menyempurnakan kurikulum penyuluhan kesehatan usia lanjut di sekolah-sekolah kesehatan.
•    Melengkapi masukan penyuluhan pada usia lanjut.
•    Menyusun modul pelatihan khusus usia lanjut untuk aparat diberbagai tingkat.
Adapun langkah-langkah dari penyuluhan yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
•    Perencanaan sudah dimulai dengan kegiatan tersebut diatas dimana masalah kesehatan, masyarakat usia lanjut dan wilayahnya jelas sudah diketahui.
•    Pelaksanaan penyuluhan kesehatan masyarakat usia lanjut harus berdaya guna serta berhasil guna.
•    Merinci tujuan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang yang harus jelas, realistis dan bisa diukur.
•    Jangkauan penyuluhan harus dirinci, pendekatan ditetapkan dan dicapai lebih objektif, rasional hasil sasarannya.
•    Penyusunan pesan-pesan penyuluhan.
•    Pengembangan peran serta masyarakat, kemampuan penyelenggaraan benar-benar tepat guna untuk dipergunakan.
•    Memilih media atau saluran untuk mengembangkan peran serta masyarakat dan kemampuan penyelenggaranan.

Posyandu Lansia
Posyandu lansia adalah pos pelayanan terpadu untuk masyarakat usia lanjut di suatu wilayah tertentu yang sudah disepakati, yang digerakkan oleh masyarakat dimana mereka bisa mendapatkan pelayanan kesehatan. Posyandu lansia merupakan pengembangan dari kebijakan pemerintah melalui pelayanan kesehatan bagi lansia yang penyelenggaraannya melalui program Puskesmas dengan melibatkan peran serta para lansia, keluarga, tokoh masyarakat dan organisasi sosial dalam penyelenggaraannya.

Tujuan Posyandu Lansia
Tujuan pembentukan posyandu lansia secara garis besar antara lain :
a.    Meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan lansia di masyarakat, sehingga terbentuk pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan lansia
b.    Mendekatkan pelayanan dan meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta dalam pelayanan kesehatan disamping meningkatkan komunikasi antara masyarakat usia lanjut.

Sasaran posyandu lansia
a.    Sasaran langsung :
•    Pra usia lanjut (45-59 tahun)
•    Usia lanjut (60-69 tahun)
•    Usia lanjut risiko tinggi: usia lebih dari 70 tahun atau usia lanjut berumur 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
b.    Sasaran tidak langsung :
•    Keluarga dimana usia lanjut berada
•    Masyarakat tempat Usila berada
•    Organisasi sosial
•    Petugas kesehatan
•    Masyarakat luas

Mekanisme Pelayanan Posyandu Lansia
Berbeda dengan posyandu balita yang terdapat sistem 5 meja, pelayanan yang diselenggarakan dalam posyandu lansia tergantung pada mekanisme dan kebijakan pelayanan kesehatan di suatu wilayah kabupaten maupun kota penyelenggara. Ada yang menyelenggarakan posyandu lansia sistem 5 meja seperti posyandu balita, ada juga hanya menggunakan sistem pelayanan 3 meja, dengan kegiatan sebagai berikut :
a.    Meja I : pendaftaran lansia, pengukuran dan penimbangan berat badan dan atau tinggi badan.
b.    Meja II : Melakukan pencatatan berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh (IMT). Pelayanan kesehatan seperti pengobatan sederhana dan rujukan kasus juga dilakukan di meja II ini.
c.    Meja III : melakukan kegiatan penyuluhan atau konseling, disini juga bisa dilakukan pelayanan pojok gizi.

Kendala Pelaksanaan Posyandu Lansia
Beberapa kendala yang dihadapi lansia dalam mengikuti kegiatan posyandu antara lain :
a.    Pengetahuan lansia yang rendah tentang manfaat posyandu
Pengetahuan lansia akan manfaat posyandu ini dapat diperoleh dari pengalaman pribadi dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan menghadiri kegiatan posyandu, lansia akan mendapatkan penyuluhan tentang bagaimana cara hidup sehat dengan segala keterbatasan atau masalah kesehatan yang melekat pada mereka. Dengan pengalaman ini, pengetahuan lansia menjadi meningkat, yang menjadi dasar pembentukan sikap dan dapat mendorong minat atau motivasi mereka untuk selalu mengikuti kegiatan posyandu lansia.
b.    Jarak rumah dengan lokasi posyandu yang jauh atau sulit dijangkau
Jarak posyandu yang dekat akan membuat lansia mudah menjangkau posyandu tanpa harus mengalami kelelahan atau kecelakaan fisik karena penurunan daya tahan atau kekuatan fisik tubuh. Kemudahan dalam menjangkau lokasi posyandu ini berhubungan dengan faktor keamanan atau keselamatan bagi lansia. Jika lansia merasa aman atau merasa mudah untuk menjangkau lokasi posyandu tanpa harus menimbulkan kelelahan atau masalah yang lebih serius, maka hal ini dapat mendorong minat atau motivasi lansia untuk mengikuti kegiatan posyandu. Dengan demikian, keamanan ini merupakan faktor eksternal dari terbentuknya motivasi untuk menghadiri posyandu lansia.
c.    Kurangnya dukungan keluarga untuk mengantar maupun mengingatkan lansia untuk datang ke posyandu
Dukungan keluarga sangat berperan dalam mendorong minat atau kesediaan lansia untuk mengikuti kegiatan posyandu lansia. Keluarga bisa menjadi motivator kuat bagi lansia apabila selalu menyediakan diri untuk mendampingi atau mengantar lansia ke posyandu, mengingatkan lansia jika lupa jadwal posyandu, dan berusaha membantu mengatasi segala permasalahan bersama lansia.
d.    Sikap yang kurang baik terhadap petugas posyandu
Penilaian pribadi atau sikap yang baik terhadap petugas merupakan dasar atas kesiapan atau kesediaan lansia untuk mengikuti kegiatan posyandu. Dengan sikap yang baik tersebut, lansia cenderung untuk selalu hadir atau mengikuti kegiatan yang diadakan di posyandu lansia. Hal ini dapat dipahami karena sikap seseorang adalah suatu cermin kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu obyek. Kesiapan merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara-cara tertentu apabila individu dihadapkan pada stimulus yang menghendaki adanya suatu respons.

Bentuk Pelayanan Posyandu Lansia
Pelayanan Kesehatan di Posyandu lanjut usia meliputi pemeriksaan Kesehatan fisik dan mental emosional yang dicatat dan dipantau dengan Kartu Menuju Sehat (KMS) untuk mengetahui lebih awal penyakit yang diderita (deteksi dini) atau ancaman masalah kesehatan yang dihadapi.
Jenis Pelayanan Kesehatan yang diberikan kepada usia lanjut di Posyandu Lansia seperti :
a.    Pemeriksaan aktivitas kegiatan sehari-hari meliputi kegiatan dasar dalam kehidupan, seperti makan/minum, berjalan, mandi, berpakaian, naik turun tempat tidur, buang air besar/kecil dan sebagainya.
b.    Pemeriksaan status mental. Pemeriksaan ini berhubungan dengan mental emosional dengan menggunakan pedoman metode 2 (dua ) menit.
c.    Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan dan dicatat pada grafik indeks masa tubuh (IMT).
d.    Pengukuran tekanan darah menggunakan tensimeter dan stetoskop serta penghitungan denyut nadi selama satu menit.
e.    Pemeriksaan hemoglobin menggunakan talquist, sahli atau cuprisulfat
f.    Pemeriksaan adanya gula dalam air seni sebagai deteksi awal adanya penyakit gula (diabetes mellitus)
g.    Pemeriksaan adanya zat putih telur (protein) dalam air seni sebagai deteksi awal adanya penyakit ginjal.
h.    Pelaksanaan rujukan ke Puskesmas bilamana ada keluhan dan atau ditemukan kelainan pada pemeriksaan butir 1 hingga 7.
i.    Penyuluhan Kesehatan.

Kegiatan lain yang dapat dilakukan sesuai kebutuhan dan kondisi setempat seperti Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dengan memperhatikan aspek kesehatan dan gizi lanjut usia dan kegiatan olah raga seperti senam lanjut usia, gerak jalan santai untuk meningkatkan kebugaran.
Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan di Posyandu Lansia, dibutuhkan, sarana dan prasarana penunjang, yaitu: tempat kegiatan (gedung, ruangan atau tempat terbuka), meja dan kursi, alat tulis, buku pencatatan kegiatan, timbangan dewasa, meteran pengukuran tinggi badan, stetoskop, tensi meter, peralatan laboratorium sederhana, thermometer, Kartu Menuju Sehat (KMS) lansia.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Jumlah usia lanjut yang meningkat saat ini akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan baik fisik, mental maupun sosial ekonomi. Untuk itu perlu pengkajian masalah usia yang lebih mendasar agar tercapai tujuan pembinaan kesehatan usia yaitu mewujudkan derajat kesehatan serta optimal. Dalam peningkatan peranan serta masyarakat dapat dilaksanan dengan bentuk penyuluhan kesehatan yang melibatkan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanan dan penilaian upaya kesehatan usia lanjut dalam rangka menciptakan kemadirian masyarakat.
Upaya kesehatan usia lanjut adalah upaya kesehatan paripurna dasar dan menyeluruh dibidang kesehatan usia lanjut yang meliputi peningkatan kesehatan, pencegahan, pengobatan dan pemulihan. Tempat pelayanan kesehatan tersebut bisa dilaksanakan di Puskesmas-Puskesmas ataupun Rumah Sakit serta Panti-panti dan institusi lainya.
Kebijakan Depkes dalam pembinaan lansia merupakan bagian dari pembinaan keluarga. Pembinaan kesehatan keluarga ditujukan kepada upaya menumbuhkan sikap dan perilaku yang akan menumbuhkan kemampuan keluarga itu sendiri untuk mengatasi masalah kesehatan dengan dukungan dan bimbingan tenaga profesional, menuju terwujudnya kehidupan keluarga yang sehat. Juga kesehatan keluarga diselenggarakan untuk mewujudkan keluarga sehat kecil, bahagia dan sejahtera.



Kamis, 27 September 2012

Asuhan Keperawatan Osteomielitis

KATA PENGANTAR

    Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami telah dapat menyelesaikan makalah “Asuhan Keperawatan Osteomielitis”.
    Kami menyadari bahwa masih terdapat kesalahan pada makalah ini. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan di masa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Padang,    September 2012

Penulis


DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I : Pendahuluan
A.    Latar Belakang
B.    Tujuan
Bab II : Pembahasan
A.    Definisi
B.    Etiologi
C.    Patofisiologi
D.    Manifestasi klinis
E.    Pemeriksaan Diagnostik
F.    Pengobatan
Bab III : Asuhan Keperawatan
A.    Pengkajian
B.    Analisa Data
C.    Diagnosa Keperawatan
D.    Intervensi
E.    Evaluasi
Bab IV : Penutup
A.    Kesimpulan
Daftar Pustaka


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Osteomielitis adalah infeksi tulang, lebih sulit di sembuhkan dari pada infeksi jaringan lunak, karena terbatasnya asupan darah, respons jaringan terhadap inflamasi , tingginya tekanan jaringan dan pembentukan involukrum (Pembentukan tulang baru disekeliling jaringan tulang mati). Osteomielitis dapat menjadi masalah kronis yang akan mempengaruhi kualitas hidup atau mengakibatkan kehilangan ekstremitas.
Infeksi disebabkan oleh penyebaran hematogen (melalui darah) dari fukos infeksi di tempat lain ( misalnya : tonsil yang terinfeksi, lepuh, gigi terinfeksi, infeksi saluran nafas ). Osteomielitis akibat penyebaran hematogen biasanya terjadi di tempat di mana terdapat trauma atau di mana terdapat resistensi rendah, kemungkinan akibat trauma subklinis (tak jelas).
Infeksi dapat berhubungan dengan penyebaran infeksi jaringan lunak (misalnya : ulkus dekubitus yang terinfeksi atau ulkus vaskuler) atau kontaminasi langsung tulang ( misalnya : fraktur terbuka, cedera traumatic seperti luka tembak, pembedahan tulang).
Pasien yang beresiko tinggi mengalami Osteomielitis adalah mereka yang nutrisinya buruk, lansia, kegemukan, atau penderita diabetes mellitus. Selain itu, pasien yang menderita artitis rheumatoid, telah di rawat lama di rumah sakit, mendapat terapi kortikosteroid jangka panjang, menjalani pembedahan sendi sebelum operasi sekarang, atau sedang mengalami sepsis rentan, begitu pula yang menjalani pembedahan ortopedi lama, mengalami infeksi luka mengeluarkan pus, mengalami nefrosis insisi margial atau dehidrasi luka, atau memerlukan evakuasi hematoma pascaoperasi.

B.    Tujuan
a.    Tujuan Umum
Secara umum makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang asuhan keperawatan osteomielitis
b.    Tujuan Khusus
•    Menjelaskan definisi, etiologi, dan patofisiologi dari osteomielitis
•    Menjelaskan manifestasi klinis dan pengobatan dari osteomielitis
•    Menjelaskan asuhan keperawatan dari osteomielitis


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi
Osteomielitis adalah infeksi tulang. Infeksi tulang lebih sulit disembuhkan daripada infeksi jaringan lunak karena terbatasnya asupan darah, respons jaringan terhadap inflamasi, tingginya tekanan jaringan dan pembentukan involukrum (pembentukan tulang baru di sekeliling jaringan tulang mati). Osteomielitis dapat menjadi masalah kronis yang akan mempengaruhi kualitas hidup atau mengakibatkan kehilangan ekstremitas. (Brunner, suddarth. (2001). 
Beberapa ahli memberikan defenisi terhadap osteomyelitis sebagai berkut :
a.    Osteomyelitis adalah infeksi Bone marrow pada tulang-tulang panjang yang disebabkan oleh staphylococcus aureus dan kadang-kadang Haemophylus influensae (Depkes RI, 1995).
b.    Osteomyelitis adalah infeksi tulang (Carpenito, 1990).
c.    Osteomyelitis adalah suatu infeksi yang disebarkan oleh darah yang disebabkan oleh staphylococcus (Henderson, 1997)
d.    Osteomyelitis adalah influenza Bone Marow pada tulang-tulang panjang yang disebabkan oleh staphyilococcus Aureus dan kadang-kadang haemophylus influenzae, infeksi yang hampir selalu disebabkan oleh staphylococcus aureus.

B.    Etiologi
a.    Staphylococcus aureus hemolitikus (koagulasi positif) sebanyak 90% dan jarang oleh streptococcus hemolitikus.
b.    Haemophylus influenza (50%) pada anak-anak dibawah umur 4 tahun. Organism yang lain seperti : bakteri coli, salmonella thyposa dan sebagainya.
c.    Proses spesifik (M.Tuberculosa)
d.    Penyebaran hematogen dari pusat infeksi jauh (tonsilitis, bisul atau jerawat, ISPA)

C.    Patofisiologi
Staphylococcus aureus merupakan penyebab 70% sampai 80% infeksi tulang. Organisme patogenik lainnya yang sering dijumpai pada Osteomielitis meliputi : Proteus, Pseudomonas, dan Escerichia Coli. Terdapat peningkatan insiden infeksi resistensi penisilin, nosokomial, gram negative dan anaerobik. Awitan Osteomielitis stelah pembedahan ortopedi dapat terjadi dalam 3 bulan pertama (akut fulminan – stadium 1) dan sering berhubngan dengan  penumpukan hematoma atau infeksi superficial. Infeksi awitan lambat  (stadium 2) terjadi antara 4 sampai 24 bulan setelah pembedahan. Osteomielitis awitan lama (stadium 3) biasanya akibat penyebaran hematogen dan terjadi 2 tahun atau lebih setelah pembedahan.
Respon inisial terhadap infeksi adalah salah satu dari inflamasi, peningkatan vaskularisasi, dan edema. Setelah 2 atau 3 hari, trombisis pada pembuluh darah terjadi pada tempat tersebut, mengakibatkan iskemia dan nefrosis tulang sehubungan dengan penigkatan tekanan jaringan dan medula. Infeksi kemudian berkembang ke kavitas medularis dan ke bawah periosteum dan dapat menyebar ke jaringan lunak atau sendi di sekitarnya. Kecuali bila proses infeksi dapat dikontrol awal, kemudian akan membentuk abses tulang.
Pada perjalanan alamiahnya, abses dapat keluar spontan namun yang lebih sering harus dilakukan insisi dan drainase oleh ahli bedah. Abses yang terbentuk dalam dindingnya terbentuk daerah jaringan mati (sequestrum) tidak mudah mencari dan mengalir keluar. Rongga tidak dapat mengempis dan menyembuh, seperti yang terjadi pada jaringan lunak lainnya. Terjadi pertumbuhan tulang baru(involukrum) dan mengelilingi sequestrum. Jadi meskipun tampak terjadi proses penyembuhan, namun sequestrum infeksius kronis yang ada tetap rentan mengeluarkan abses kambuhan sepanjang hidup penderita. Dinamakan osteomielitis tipe kronik.

D.    Manifestasi Klinis
Jika infeksi dibawa oleh darah, biasanya awaitan mendadak, sering terjadi dengan manifetasi klinis septikema (misalnya : menggigil, demam tinggi, tachycardia dan malaise umum). Gejala sistemik pada awalnya dapat menutupi gejala local secara lengkap. Setelah infeksi menyebar dari rongga sumsum ke korteks tulang, akan mengenai posterium, dan jaringan lunak, dengan bagian yang terinfeksi menjadi nyeri, bengkak, dan sangat nyeri tekan. Pasien menggambarkan nyeri konstan berdenyut yang semakin memberat dengan gerakan dan berhubungan dengan tekanan pus yang terkumpul.
Bila osteomielitis terjadi akibat penyebaran dari infeksi di sekitarnya atau kontaminasi langsung, tidak akan ada gejala septikemia. Daerah terinfeksi membengkak, hangat, nyeri, dan nyeri tekan.
Pada pasein dengan osteomielitis kronik ditandai dengan pus yang selalu mengalir keluar dari sinus atau mengalami periode berulang nyeri, inflamasi, pembengkakan dan pengeluaran pus. Infeksi derajat rendah terjadi pada jaringan parut akibat kurangnya asupan darah.

E.    Pemeriksaan Diagnostik
Pada Osteomielitis akut ; pemeriksaan sinar-x hanya menunjukan pembengkakan jaringan lunak. Pada sekitar 2 minggu terdapat daerah dekalsifikasi ireguler, nefrosis tulang, pengangkatan periosteum dan pembentukan tulang baru. Pemindaian tulang dan MRI dapat membantu diagnosis definitive awal. Pemeriksaan darah memperhatikan peningkatan leukosit dan peningkatan laju endap darah. Kulur darah dan kultur abses diperlukan untuk menentukan jenis antibiotika yang sesuai.
Pada Osteomielitis kronik; besar, kavitas ireguler, peningkatan periosteum, sequestra atau pembentukan tulang padat terlihat pada sinar-x. Pemindaian tulang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi area terinfeksi. Laju sedimentasi dan jumlah sel darah putih biasanya normal. Anemia, dikaitkan dengan infeksi kronik. Abses ini dibiakkan untuk menentukan organisme infektif dan terapi antibiotic yang tepat.

F.    Pengobatan
a.    Pemberian Antibiotik
Pemberian antibiotik ditujukan untuk mencegah terjadinya penyebaran infeksi pada tulang sehat lainnya, mengontrol eksaserbasi akut.
b.    Tindakan Operatif
Tindakan operatif dilakukan bila fase eksaserbasi akut telah reda setelah pemberian dan rumatan antibiotik yang adekuat. Operasi dilakukan dengan tujuan untuk mengeluarkan seluruh jaringan nekrotik baik jaringan lunak maupun jaringan tulang sampai jaringan sehat sekitarnya. Selanjutnya dilakukan drainase dan irigasi secara kontinu selama beberapa hari. Adakalanya diperlukan penanaman rantai antibiotik di dalam bagian tulang yang infeksi.



BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A.    Pengkajian
a.    Identitas Pasien : nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, dan lain-lain.
b.    Riwayat Kesehatan
a)    Riwayat Kesehatan Sekarang
Kaji adanya riwayat trauma fraktur terbuka, riwayat operasi tulang dengan pemasangan fiksasi internal dan fiksasi eksternal dan pada osteomielitis kronis penting ditanyakan apakah pernah mengalami osteomielitis akut yang tidak diberi perawatan adekuat sehingga memungkinkan terjadinya supurasi tulang.
b)    Riwayat Kesehatan Dahulu
Ada riwayat infeksi tulang, biasanya pada daeah vertebra torako-lumbal yang terjadi akibat torakosentesis atau prosedur urologis. Dapat ditemukan adanya riwayat diabetes melitus, malnutrisi, adiksi obat-obatan, atau pengobatan imunosupresif.
c.    Pemeriksaan Fisik
a)    Keadaan Umum
•    Tingkat kesadaran (apatis, sopor, koma, gelisah, kompos mentis yang bergantung pada keadaan klien)
•    Kesakitan atau keadaan penyakit (akut, kronis, ringan, sedang, dan paa kasus osteomielitis biasanya akut)
•    Tanda-tanda vital tidak normal
b)    Sistem Pernafasan
Pada inspeksi, didapatkan bahwa klien osteomielitis tidak mengalami kelainan pernafasan. Pada palpasi toraks, ditemukan taktil fremitus seimbang kanan dan kiri. Pada auskultasi, tidak didapatkan suara nafas tambahan.
c)    Sistem Kardiovaskuler
Pada inspeksi, tidak tampak iktus jantung. Palpasi menunjukkan nadi meningkat, iktus tidak teraba. Pada auskultasi, didapatkan suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada murmur.
d)    Sistem Muskuloskeletal
Adanya osteomielitis kronis dengan proses supurasi di tulang dan osteomielitis yang menginfeksi sendi akan mengganggu fungsi motorik klien. Kerusakan integritas jaringan pada kulit karena adanya luka disertai dengan pengeluaran pus atau cairan bening berbau khas.
e)    Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran biasanya kompos mentis
f)    Sistem perkemihan
Pengkajian keadaan urine meliputi warna, jumlah, karakteristik, dan berat jenis. Biasanya klien osteomielitis tidak mengalami kelainan pada sitem ini.

g)    Pola nutrisi dan metabolisme
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien dapat menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat. Masalah nyeri pada osteomielitis menyebabkan klien kadang mual atau muntah sehingga pemenuhan nutrisi berkurang

B.    Analisa Data
DS
•    Klien mengatakan kalau ia merasa nyeri pada tulangnya

DO
•    Klien tampak gelisah
•    Klien tampak meringis
•    Suhu tubuh 38oC    
DS
•    Klien mengatakan kalau ia kesulitan dalam bergerak

DO
•    Klien tampak sulit bergerak
•    Klien tampak meringis   

C.    Diagnosa Keperawatan
1.    Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan pembengkakan
2.    Kerusakan mobilisasi fisik berhubungan dengan nyeri, alat imobilisasi dan keterbatasan menahan beban berat badan

D.    Intervensi
1.    Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan pembengkakan
Tujuan :
Mendemonstrasikan bebas dari nyeri dan Peningkatan rasa kenyamanan
Kriteria Hasil :
Tidak terjadi nyeri, nafsu makan menjadi normal, ekspresi wajah rileks dan suhu tubuh normal



Intervensi  
Mandiri
•    Kaji karakteristik nyeri: lokasi, durasi, intensitas nyeri

•    Atur posisi imobilisasi pada daerah nyeri sendi atau nyeri di tulang yang mengalami infeksi
•    Ajarkan relaksasi : teknik mengurangi ketegangan otot rangka yang dapat mengurangi intensitas nyeri dan meningkatan relaksasi masase
•    Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut

•    Amati perubahan suhu setiap 4 jam

•    Kompres air hangat

Kolaborasi :
•    Pemberian obat-obatan analgetik    

2.    Kerusakan mobilisasi fisik berhubungan dengan nyeri, alat imobilisasi dan keterbatasan menahan beban berat badan
Tujuan :
Gangguan mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan
Kriteria Hasil :
•    Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin
•    Mempertahankan posisi fungsional
•    Meningkatkan / fungsi yang sakit
•    Menunjukkan teknik mampu melakukan aktivitas

Intervensi   
Mandiri
•    Pertahankan tirah baring dalam posisi yang di programkan
•    Tinggikan ekstremitas yang sakit, instruksikan klien / bantu dalam latihan rentang gerak pada ekstremitas yang sakit dan tak sakit
•    Beri penyanggah pada ekstremitas yang sakit pada saat bergerak
•    Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas

•    Ubah posisi secara periodik

Kolaborasi :
•    Fisioterapi   

E.    Evaluasi
Hasil yang diharapkan :
1.    Mengalami Peredaan Nyeri
•    Melaporkan berkurangnya nyeri
•    Tidak mengalami nyeri tekan di tempat terjadinya infeksi
•    Tidak mengalami ketidaknyamanan bila bergerak
2.    Peningkatan mobilitas fisik
•    Berpartisipasi dalam aktivitas perawatan diri
•    Mempertahankan fungsi penuh ektremitas yang sehat
•    Memperlihatkan penggunaan alat imobilisasi dan alat bantu dengan aman




BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
a.    Osteomyelitis adalah infeksi Bone marrow pada tulang-tulang panjang yang disebabkan oleh staphylococcus aureus dan kadang-kadang Haemophylus influensae (Depkes RI, 1995).
b.    Osteomielitis dapat menjadi masalah kronis yang akan mempengaruhi kualitas hidup atau mengakibatkan kehilangan ekstremitas. (Brunner, suddarth. (2001). 
c.    Staphylococcus aureus merupakan penyebab 70% sampai 80% infeksi tulang.
d.    Organisme patogenik lainnya yang sering dijumpai pada Osteomielitis meliputi : Proteus, Pseudomonas, dan Escerichia Coli.
e.    Jika infeksi dibawa oleh darah, biasanya awaitan mendadak, sering terjadi dengan manifetasi klinis septikema (misalnya : menggigil, demam tinggi, tachycardia dan malaise umum).
f.    Pada Osteomielitis akut ; pemeriksaan sinar-x hanya menunjukan pembengkakan jaringan lunak. Pada sekitar 2 minggu terdapat daerah dekalsifikasi ireguler, nefrosis tulang, pengangkatan periosteum dan pembentukan tulang baru.
g.    Pada Osteomielitis kronik; besar, kavitas ireguler, peningkatan periosteum, sequestra atau pembentukan tulang padat terlihat pada sinar-x. Pemindaian tulang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi area terinfeksi.




DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: EGC
http://nurse87.wordpress.com/2012/05/09/askep-osteomielitis/



Senin, 24 September 2012

8 sept 2012 (holliday)





On saturday, i go to holliday with my friends. I feel very-very happy at that day because finally i can go to tea's garden.
I really like tea's garden. the whether in there is so cold for me but i like it.
Going there is an activity that often i want to do. But i can't do it because the place is far.
I ever think if i want to stay at there so that i can often go to tea's garden.

Senin, 02 April 2012

jenis-jenis shock

JENIS - JENIS SHOCK

A.    Shock hipovolemik
Selama shock hipovolemik  aliran balik vena ke jantung menurun  pengisian ventrikel drop  stroke volume, cardiac output, tekanan darah menurun.
Faktor pemicu shock hipovolemik;
1.    Perdarahan (pembedahan, trauma, perdarahan GI, gangguan pembekuan darah, ruptur varises eosophagus)
2.    Hilangnya cairan intravaskuler dari kulit menuju jaringan cedera, misal luka bakar
3.    Hilangnya volume darah ok dehidrasi berat
4.    Hilangnya cairan tubuh melalui sistem GI; muntah, diare, suction nasogastrik
5.    Hilangnya cairan akibat pengguanaan diuretik, diabetes inspidus
6.    Ascites, efusi pleura, obstruksi intestinal
Jika volume darah yang hilang < 500ml, aktivasi respomn simpatis biasanya dapat memulihkan CO dan TD mendekati normal, meski pols meningkat (Price & Wilson,1992).
Jika hilangnya volume darah terus berlanjut (1000ml atau lebih) fase shock akan berlanjut.
Initial stage hilangnya darah < 500ml.
Compensatory dan progressive stage  hilangnya darah 25%-35% darah sirkulasi.
Irreversible stage  hilangnya darah 35%-50% darah Sirkulasi
Temuan klinik shock hipovolemik
Jika kehilangan darah >1000ml;
1.    Hypotensi
2.    Pols cepat/lemah
3.    Pernafasan cepat
4.    Kulit dingin, pucat
5.    Status mental: cemas, bingung, agitasi
6.    Oliguri (<30ml/jam)
7.    Haus, asidosis, hiperkalemia, CRT menurun. 
Jika kehilangan 35%-50% volume darah;
1.    Hypotensi; sistolik <80mmHg
2.    Pols cepat/lemah
3.    Pernafasan cracles/whezing
4.    Cyanosis
5.    Status mental: letargi, koma
6.    Anuria

Langkah Diagnosis
Pemeriksaan Laboratorium
a.    Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisis dlakukan, langkah diagnosis selanjutnya tergantung pada penyebab yang mungkin pada hipovolemik, dan stabilitas dari kondisipasienitusendiri.
b.    Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain: analisis Complete Blood Count (CBC), kadar elektrolit (Na, K, Cl, HCO3, BUN, kreatinin, kadar glukosa), PT, APTT, AGD, urinalisis (pada pasien yang mengalami trauma), dan tes kehamilan. Darah sebaiknya ditentukan tipenya dan dilakukan pencocokan.

Penatalaksanaan

Penanganan sebelum di Rumah Sakit
Penanganan pasien dengan syok hipovolemik sering dimulai pada tempat kejadian atau di rumah. Tim yang menangani pasien sebelum ke rumah sakit sebaiknya bekerja mencegah cedera lebih lanjut, membawa pasien ke rumah sakit sesegera mungkin, dan memulai penanganan yang sesuai. Penekanan sumber perdarahan yang tampak dilakukan untuk mencegah kehilangan darah yang lebih lanjut.
Pencegahan cedera lebih lanjut dilakukan pada kebanyakan pasien trauma. Vertebra servikalis harus diimobilisasi, dan pasien harus dibebaskan jika mungkin, dan dipindahkan ke tandu. Fiksasi fraktur dapat meminimalisir kerusakan neurovaskuler dankehilangandarah.
a.    Meskipun pada kasus tertentu stabilisasi mungkin bermanfaat, transportasi segera pasien ke rumah sakit tetap paling penting pada penanganan awal sebelum di rumah sakit. Penanganan definitif pasien dengan hipovolemik biasanya perlu dilakukan di rumah sakit, dan kadang membutuhkan intervensi bedah. Beberapa keterlambatan pada penanganan seperti terlambat dipindahkan sangat berbahaya.
b.    Intervensi sebelum ke rumah sakit terdiri dari immobilisasi (pada pasien trauma), menjamin jalan napas yang adekuat, menjamin ventilasi, dan memaksimalkan sirkulasi.
c.    Dalam penanganan syok hipovolemik, ventilasi tekanan positif dapat mengurangi aliran balik vena, mengurangi cardiac output, dan memperburuk status/keadaan syok. Walaupun oksigenasi dan ventilasi penting, kelebihan ventilasi tekanan positif dapat merusak pada pasien dengan syok hipovolemik.
d.    Penanganan yang sesuai biasanya dapat dimulai tanpa keterlambatan transportasi. Beberapa prosedur, seperti memulai pemberian infus atau fiksasi ekstremitas, dapat dilakukan ketika pasien sudah dibebaskan. Namun, tindakan yang memperlambat pemindahan pasien sebaiknya ditunda. Keuntungan pemberian cairan intravena segera pada tempat kejadian tidak jelas. Namun, infus intravena dan resusitasi cairan harus dimulai dan dilanjutkan dalam perjalanan ke tempat pelayanan kesehatan.

B.    Shock kardiogenik
Kegagalan jantung mengakibatkan ketidakmampuan memepertahankan CO dan perfusi ke jaringan
Penyebab;
1.    Infark miokard
2.    Pericarditis
3.    Henti jantung
4.    Disritmia; fibrilasi atau takhikardi ventrikel
5.    Perubahan patologik pada katup
6.    Komplikasi ok pembedahan jantung
7.    Gangguan elektrolit ok perubahan potassium dan calcium
8.    Obat-obatan yang berefek terhadap kontraktilitas otot jantung
9.    Cedera kepala yang menyebabkan kerusakan pada pusat cardioregulatory
Infark miokard merupakan penyebab utama shock kardiogenik (15%-20% MCI shock kardiogenik).
Kardiogenik menyebabkan CO/MAP menurunkompensasi; HR meningkat  konsumsi oksigen miokard meningkat  menurunkan perfusi koroner iskemia nekrosis
Sianosis umumnya terjadi pada shock kardiogenik
Kegagalan jantung  tekanan ventrikel kiri dan tekanan diastolik meningkat edema paru;
Retensi darah pada ventrikel kanan meningkatkan tekanan arteri kanan  menghambat aliran balik vena distensi vena jugular
Temuan klinik shock kardiogenik
1.    Hypotensi
2.    Pols cepat/lemah
3.    Crackles/whezing, edema paru
4.    Kulit: dingin, pucat, sianosis
5.    Status mental; letargi, koma
6.    Oliguri-anuri
7.    Edema , CVP meningkat, aritmia
Manifestasi Klinis
Syok kardiogenik ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri yang mengakibatkan gangguan mengakibatkan gangguan fungsi ventrikel kiri yaitu mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan yang khas pada syok kardiogenik yang disebabkan oleh infark miokardium akut adalah hilangnya 40% atau lebih jaringan otot pada ventrikel kiri dan nekrosis vocal di seluruh ventrikel karena ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen miokardium. Gmbaran klinis gagal jantung kiri :
a.    Sesak napas dyspnea on effert, paroxymal nocturnal dyspnea
b.    Pernapasan cheyne stokes
c.    Batuk-batuk
d.    Sianosis
e.    Suara serak
f.    Ronchi basah, halus tidak nyaring di daerah basal paru hydrothorax
g.    Kelainan jantung seperti pembesaran jantung, irama gallop, tachycardia
h.    BMR mungkin naik
i.    Kelainan pada foto rontgen

Patofisiologi
Tanda dan gejala syok kardiogenik mencerminkan sifat sirkulasi patofisiologi gagal jantung. Kerusakan jantung mengakibatkan penurunan curah jantung, yang pada gilirannya menurunkan tekanan darah arteria ke organ-organ vital. Aliran darah ke arteri koroner berkurang, sehingga asupan oksigen ke jantung menurun, yang pada gilirannya meningkatkan iskemia dan penurunan lebih lanjut kemampuan jantung untuk memompa, akhirnya terjadilah lingkaran setan.
Tanda klasik syok kardiogenik adalah tekanan darah rendah, nadi cepat dan lemah, hipoksia otak yang termanifestasi dengan adanya konfusi dan agitasi, penurunan haluaran urin, serta kulit yang dingin dan lembab.
Disritmia sering terjadi akibat penurunan oksigen ke jantung.seperti pada gagal jantung, penggunaan kateter arteri pulmonal untuk mengukur tekanan ventrikel kiri dan curah jantung sangat penting untuk mengkaji beratnya masalah dan mengevaluasi penatalaksanaan yang telah dilakukan. Peningkatan tekananakhir diastolik ventrikel kiri yang berkelanjutan (LVEDP = Left Ventrikel End Diastolik Pressure) menunjukkan bahwa jantung gagal untuk berfungsi sebagai pompa yang efektif.

Pemeriksaan Diagnostik
Faktor-faktor pencetus test diagnostik antara lain :
a.    Electrocardiogram (ECG)
b.    Sonogram
c.    Scan jantung
d.    Kateterisasi jantung
e.    Roentgen dada
f.    Enzim hepar
g.    Elektrolit oksimetri nadi
h.    AGD
i.    Kreatinin
j.    Albumin / transforin serum
k.    HSD

Penatalaksanaan
Tindakan umum. Ada berbagai pendekatan pada penatalaksanaan syok kardiogenik. Setiap disritmia mayor harus dikoreksi karena mungkin dapat menyebabkan atau berperan pada terjadinya syok. Bila dari hasil pengukuran tekanan diduga atau terdeteksi terjadi hipovolemia atau volume intravaskuler rendah. Pasien harus diberi infus IV untuk menambah jumlah cairan dalam sistem sirkulasi. Bila terjadi hipoksia, berikan oksigen, kadang dengan tekanan positif bila aliran biasa tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan jaringan.
Farmakoterapi. Terapi medis dipilih dan diarahkan sesuai dengan curah jantung dan tekanan darah arteri rerata. Salah satu kelompok obat yang biasa digunakan adalah katekolamin yang dapat meningkatkan tekanan darah dan curah jantung. Namun demikian mereka cenderung meningkatkan beban kerja jantung dengan meningkatkan kebutuhanoksigen.
Bahan vasoaktif seperti natrium nitroprusida dan nitrogliserin adalah obat yang efektif untuk menurunkan tekanan darah sehingga kerja jantung menurun. Bahan-bahan ini menyebabkan arteri dan vena mengalami dilatasi, sehingga menimbulkan lebih banyak pintasan volume intravaskuler keperifer.
Penatalaksanaan yanglain :
a.    Istirahat
b.    Diit, diit jantung, makanan lunak, rendah garam
c.    Pemberian digitalis, membantu kontraksi jantung dan memperlambat frekuensi jantung. Hasil yang diharapkan peningkatan curah jantung, penurunan tekanan vena, dan volume darah dan peningkatan diuresis akan mengurangi edema. Pada saat pemberian ini pasien harus dipantau terhadap hilangnya dispnea, ortopnea, berkurangnya krekel, dan edema perifer.
d.    Pemberian diuretik, yaitu untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui ginjal. Bila sudah diresepkan harus diberikan pada siang hari agar tidak menganggu istirahat pada malam hari, intake dan output pasien harus dicatat mungkin pasien dapat mengalami kehilangan cairan setelah pemberian diuretik. Pasien juga harus menimbang badannya setiap hari turgor kulit untuk menghindari terjadinya tanda-tandadehidrasi.
e.    Morfin, diberikan untuk mengurangi sesak napas pada asma cardial, hati-hati depresipernapasan.
f.    Terapi vasodilator dan natrium nitropurisida, obat-obatan vasoaktif merupakan pengobatan utama untuk mengurangi impedansi (tekanan) terhadap penyemburan darah oleh ventrikel.


C.    Shock septik
Shock sepsis disebabkan efek toksin yang diproduksi agen infeksius; 
1.    bakteri gram negatif : pseudomonas  aeruginosa, Escherichia coli, dan klebsiella pneumoniae  klebsiella pneumoniae
2.    bakteri gram positif : Clostridium, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumoniae
3.    Jamur : Candida albicans
Penyebab:
1.    Sistem urinari: kateterisasi, cystoscopy
2.    Sistem respirasi: suctioning, aspirasi, trakeostomi, ETT, ventilator
3.    Sistem GI: ulkus peptikum, ruptur appendiks, peritonitis peritonitis
4.    Integumen: luka bedah, kateter intravena, kateter intra-arteri, monitoring invasif, ulkus
5.    dekubitus, luka bakar, trauma
6.    Sistem reproduksi wanita: infeksi intrapartal/postpartal, STD
Shock sepsis diawali dengan septikemia;  endotoksin merusak lapisan endotel pembuluh darah kerusakan seluler pelepasan protein vasoaktif  vasodilatasi perifer & permebilitas kapiler meningkat  perpindahan cairan dari ruang intravaskuler menuju ruang interstitial  hypovolemia matabolisme anaerob  asidosis laktat  kematian seluler
Temuan klinik shock septik
Awal (warm) shock septik
1.    TD normal/hypotensi
2.    Pols cepat/lemah
3.    Pernafasan: cepat/dalam
4.    Kulit hangat
5.    Status mental: alert, orientasi
6.    Urin output normal
7.    Temperatur meningkat, kelemahan, mual, muntah,diare, CVP menurun
Lanjut (cold) shock septik
1.    Hypotensi
2.    Pols; tachicardi, aritmia
3.    Pernafasan: cepat/dalam, dypsnea
4.    Kulit dingin, pucat, edema
5.    Urin output: oliguri/anuri
6.    Temperatur menurun, CVP menurun
Penatalaksanaan
1.    Pengumpulan spesimen urin, darah, sputum dan drainase luka dilakukan dengan tekhnik aseptik.
2.    Pemberian suplementasi nutrisi tinggi kandungan protein secara agresif dilakukan selama 4 hari dari awitan syok.
3.    Pemberian cairan intravena dan obat-obatan yang diresepkan termasuk antibiotik Dopamin, dan Vasopresor untuk optimalisasi volume intravaskuler
Komplikasi
1.    Kegagalan multi organ akibat penurunan aliran darah dan hipoksia jaringan yang berkepanjangan.
2.    Sindrom distres pernapasan dewasa akibat destruksi pertemuan alveolus kapiler karena hipoksia.

D.    Shock neurogenik
Shock neurogenik (shock vasogenik)ketidakseimbangan stimulasi saraf simpatis dan saraf parasimpatis pada otot pembuluh darah
Penyebab :
1.    cedera kepala
2.    cedera spinal
3.    reaksi insulin (hypoglikemia  penurunan glukosa ke medulla)
4.    anestesia spinal
5.    anestesi umum
6.    nyeri hebat
7.    pemaparan panas yang lama
Overstimulasi parasimpatis & understimulasi simpatis  vasodilatasi penurunan SVR TD menurun  penurunan nutrien melewati membran kapilergangguan metabolisme seluler kapiler  gangguan metabolisme seluler
Dilatasi vena  CVP drop  aliran darah balik vena menurun  SV menurun MAP menurun
Temuan klinik shock neurogenik
1.    Hypotensi
2.    Pols lambat
3.    Kulit; hangat, kering
4.    Status mental: cemas, letargi,koma
5.    Oliguri-anuri
6.    Temperatur menurun
Penatalaksanaan
Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif seperti fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan sfingter prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong keluar darah yang berkumpul ditempat tersebut.
1.    Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi Trendelenburg).
2.    Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan menggunakan masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang berat, penggunaan endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan. Langkah ini untuk menghindari pemasangan endotracheal yang darurat jika terjadi distres respirasi yang berulang. Ventilator mekanik juga dapat menolong menstabilkan hemodinamik dengan menurunkan penggunaan oksigen dari otot-otot respirasi.
3.    Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi cairan. Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per infus secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap tekanan darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap terapi.
4.    Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat vasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan seperti ruptur lien) :
a)    Dopamin
Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit, berefek serupa dengan norepinefrin. Jarang terjadi takikardi.
b)    Norepinefrin
Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan darah. Monitor terjadinya hipovolemi atau cardiac output yang rendah jika norepinefrin gagal dalam menaikkan tekanan darah secara adekuat. Pada pemberian subkutan, diserap tidak sempurna jadi sebaiknya diberikan per infus. Obat ini merupakan obat yang terbaik karena pengaruh vasokonstriksi perifernya lebih besar dari pengaruh terhadap jantung (palpitasi). Pemberian obat ini dihentikan bila tekanan darah sudah normal kembali. Awasi pemberian obat ini pada wanita hamil, karena dapat menimbulkan kontraksi otot-otot uterus.
c)    Epinefrin
Pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan sempurna dan dimetabolisme cepat dalam badan. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan pengaruhnya terhadap jantung Sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu bahwa pasien tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok neurogenik.
d)    Dobutamin
Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan oleh menurunnya cardiac output. Dobutamin dapat menurunkan tekanan darah melalui vasodilatasi perifer. Pasien-pasien yang diketahui/diduga mengalami syok neurogenik harus diterapi sebagai hipovolemia. Pemasangan kateter untuk mengukur tekanan vena sentral akan sangat membantu pada kasus-kasus syok yang meragukan.

E.    Shock anaphylactic
Shock anaphylactic terjadi karena reaksi hypersensitif; perubahan fisiologi terjadi akibat seseorang kontak dengan allergen
Alergen penyebab shock anaphylactic:
1.    substansi untuk diagnosis/treatment (antibiotik,vaksin, anestesi lokal, iodine,  darah dan produk darah, narkotik)
2.    makanan (ikan, putih telur, susu, coklat)
3.    gigitan serangga (lebah,semut)
4.    bisa ular
Pada saat pemaparan, reaksi antigen dan antibodi IgE menyebabkan gangguan integritas seluler  histamin & vasoaktif amin dilepaskan dan masuk ke sistem sirkulasi   peningkatan permeabilitas vaskuler dan vasodilatasi massive hipotensi  colaps vaskuler
Shock anaphylactic terjadi sangat cepat, manifestasi muncul stelah 20 menit kontak dengan antigen
Temuan klinik shock anaphylactic
1.    Hypotensi
2.    Pols: meningkat, disritmia
3.    Respirasi: dyspnea, stridor, whezing, laryngospasme, bronchospasme, edema paru
4.    Status mental: cemas, letargi, koma
5.    Urin output: oliguri/anuri
6.    Pruritus, kram abdomen, mual, diare
Diagnosis
Adanya tanda-tanda yang berhubungan dengan syok anafilaktik. Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat emerjensi dan alat bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal ini diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian atau cacat organ tubuh menetap. Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:
a.    Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
b.    Segera berikan adrenalin 0,3 – 0,5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa atau 0,01 μg/kgBB untuk penderita anak-anak, i.m. Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2 – 4 μg/menit.
c.    Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5 – 6 mg/kgBB i.v dosis awal yang diteruskan 0,4 – 0,9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
d.    Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau deksametason 5 – 10 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel.
e.     Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
a)    Airway ‘penilaian jalan napas’. Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
b)    Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
c)    Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar. Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru.
f.    Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur i.v untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutankristaloid, maka diperlukan jumlah 3–4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20 – 40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin.
g.    Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.
h.    Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diawasi / diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 2 – 3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi.

Pencegahan
Pencegahan syok anafilaktik merupakan langkah terpenting dalam setiap pemberian obat, tetapi ternyata tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan, antara lain:

    Pemberian Obat
a.    Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat.
b.    Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai risiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.
c.    Penting menyadari bahwa tes kulit negatif, pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1 – 3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60% bila tes kulit positif.
d.    Yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik atau anafilaktoid serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Mempertahankan suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan selimut pada penderita untuk mencegah kedinginan dan mencegah kehilanganpanas. Jangan sekali-kali memanaskan tubuh penderita karena akan sangat berbahaya.
    Pemberian Cairan :
a.    Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar, mual-mual, muntah atau kejang karena bahaya terjadinya aspirasi cairan ke dalam paru.
b.    Jangan memberi minum kepada penderita yang akan dioperasi atau dibius dan yang mendapat trauma pada perut serta kepala (otak).
c.    Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak ada indikasi kontra. Pemberian minum harus dihentikan bila penderita menjadi mual atau muntah.
d.    Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.
e.    Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus seimbang dengan jumlah cairan yang hilang. Sedapat mungkin diberikan jenis cairan yang sama dengan cairan yang hilang, darah pada perdarahan, plasma pada luka bakar. Kehilangan air harus diganti dengan larutan hipotonik. Kehilangan cairan berupa air dan elektrolit harus diganti dengan larutan isotonik. Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan kristaloid memerlukan volume 3 – 4 kali volume perdarahan yang hilang, sedang bila menggunakan larutan koloid memerlukan jumlah yang sama dengan jumlah perdarahan yang hilang. Telah diketahui bahwa transfusi eritrosit konsentrat yang dikombinasi dengan larutan ringer laktat sama efektifnya dengan darah lengkap.
f.    Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah pemberian cairan yang berlebihan.
g.    Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian cairan berlebihan yang akan membebani jantung. Harus diperhatikan oksigenasi darah dan tindakan untuk menghilangkan nyeri.
h.    Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan ketat, mengingat pada syok septik biasanya terdapat gangguan organ majemuk (Multiple Organ Disfunction). Diperlukan pemantauan alat canggih berupa pemasangan CVP, “Swan Ganz” kateter dan pemeriksaan analisa gas darah.

F.    Shock Hemoragik
Syok hemoragik merupakan komplikasi yang jarang namun serius, yang mungkin terjadi dalam situasi kandungan atau ginekologi banyak. Perdarahan merupakan penyebab utama kematian ibu di negara berkembang dunia.1 Kematian dan morbiditas sekunder untuk perdarahan menjadi kurang umum karena pengenalan dini dan intervensi dan meningkatkan ketersediaan rekomendasi resources.1Ten medis untuk pengelolaan syok hemoragik adalah
tercantum dalam teks berikut dan telah dinilai sesuai dengan tingkat bukti sebagaimana ditentukan oleh kriteria Kanada Task Force pada Pemeriksaan Kesehatan Berkala  Dengue Shock dalam kebidanan Perdarahan obstetrik sering akut, dramatis, dan meremehkan.
Postpartum hemorrhage merupakan penyebab yang signifikan dari ibu death. Manajemen perdarahan postpartum telah Ulasan secara rinci dalam Pedoman SOGC Clinical Practice untuk Pencegahan dan Manajemen Postpartum Hemorrhage. Dengue Shock DI Ginekologi Sebuah prosedur bedah merupakan anteseden yang paling umum akut ginekologi perdarahan, meskipun pasien kadang-kadang akan hadir dengan perdarahan akut dari kehamilan ektopik pecah atau dari identifikasi Risiko neoplasma adalah penting dalam
konseling pasien sebelum operasi dan dalam persiapan bedah tim. Setiap proses yang mendistorsi anatomi panggul, seperti endometriosis, neoplasma, atau perlekatan, atau yang mengarah ke inflamasi respon mungkin terkait dengan peningkatan intraoperatif kehilangan darah. Identifikasi, isolasi, dan pengendalian cepat perdarahan ditemui selama prosedur akan membatasi kerugian total.
Anatomi panggul dan tengara dari pohon vaskular harus akrab bagi setiap ahli bedah panggul. Pasien dengan perdarahan pasca operasi tertunda dapat hadir dengan perdarahan dari luka atau vagina atau dengan bukti dari suatu hemoperitoneum. Hati-hati pemeriksaan dan resusitasi dengan kontrol yang pasti dan cepat kehilangan darah diperlukan, yang mungkin memerlukan kembali ke ruang operasi.
Presentasi Klinis dan Komplikasi
Syok hemoragik Perdarahan terjadi ketika ada yang berlebihan eksternal atau internal. Sebuah volume darah loss.4 didefinisikan sulit untuk mengukur dalam kebanyakan situasi, dan hilangnya dievaluasi visual seringkali diremehkan. 4 Shock terjadi ketika ada hipoperfusi vital organ. Hipoperfusi mungkin karena kerusakan dari miokardium (syok kardiogenik), infeksi luar biasa terkemuka untuk redistribusi volume sirkulasi ke ekstravaskular yang ruang (syok septik), atau hipovolemia karena parah dehidrasi atau perdarahan (syok hipovolemik) . Tanda dan gejala syok hemoragik akan bervariasi tergantung pada volume dan laju kehilangan darah. Sistem kunci dipengaruhi oleh syok hemoragik adalah pemerintah pusat saraf, jantung, dan ginjal systems.

Patofosiologi
Pada syok hemoragik, pengurangan akut pada volume darah menyebabkan kompensasi simpatis oleh vasokonstriksi perifer, takikardia, dan kontraktilitas miokard meningkat, yang pada gilirannya meningkatkan kebutuhan oksigen miokard untuk, ke tingkat yang tidak dapat maintained.1 bersamaan, jaringan hipoperfusi dari vasokonstriksi precapillary menyebabkan metabolisme anaerobik dan acidosis. Jaringan hipoksia, asidosis, dan pelepasan berbagai mediator menyebabkan inflamasi, sistemik response.  Cedera reperfusi terjadi ketika radikal oksigen yang dilepaskan selama fase akut sistemik diedarkan secara keseluruhan perfusi tubuh restored. humoral dan seluler inflamasi Sistem ini juga diaktifkan, dan berkontribusi vaskular dan seluler injury. Transmigration mikroorganisme dan endotoksin di seluruh hambatan mukosa melemah memberikan kontribusi untuk sistemik sindrom respons inflamasi (SIRS) dan multiple organ failure.

Klasifikasi
Hal ini jenis klasifikasi dapat membantu dalam menentukan volume yang diperlukan untuk penggantian awal, dan tanda-tanda syok tercantum dalam menentukan keparahan kerugian okultisme. Gejala dan gejala sisa perdarahan pada akhirnya berhubungan dengan perfusi jaringan. Rugi kurang dari, atau sama dengan, 15% dari volume darah (dikompensasi shock) tidak dapat dikaitkan dengan perubahan dalam darah tekanan (BP), pulsa, atau isi ulang kapiler. Shock ringan biasanya mudah kompensasi, terutama pada wanita, muda sehat
reproduksi age. kerugian lebih lanjut menyebabkan takikardia, katekolamin sebuah respon ditandai dengan nada simpatik meningkat. Istirahat BP biasanya normal, tetapi perubahan ortostatik pada BP dan pulsa mungkin jelas. Tindakan resusitasi sederhana akan berhasil membalikkan kerugian changes.1Ongoing volume darah mungkin menyalip kemampuan jantung untuk mengkompensasi, dan ditandai takikardia dikaitkan dengan penurunan BP, diklasifikasikan sebagai moderat shock. Dengan perdarahan berlanjut, hipoperfusi jaringan terjadi, menyebabkan metabolisme anaerob dan asidosis, diklasifikasikan sebagai berat
shock. Pasien menunjukkan takikardi dan takipnea dengan kegagalan pernafasan, menjadi oliguria, dan kemudian anuric. Obtundation dan kehilangan kesadaran mungkin juga occur. Cellular disfungsi, diikuti oleh kematian sel, menyebabkan organ multiple kegagalan, sehingga shock.1 ireversibel, 15 Angka kematian di tahap ini adalah lebih dari 30%.

Klinis
 Dari Sistem shock  hemoragik Awal Akhir SSP Perubahan status mental tidak sadar Takikardia gagal jantung jantung Hipotensi ortostatik Aritmia Hipotensi Oliguria ginjal anuria Pernapasan Takipnea Takipnea Kegagalan pernafasan Tidak ada hati kegagalan hati berubah Tidak ada perdarahan mukosa gastrointestinal perubahan Hematologi Anemia Koagulopati Asidosis metabolik Tidak ada Hypocalcemia.

Faktor resiko
Evaluasi dari semua pasien yang datang untuk perawatan obstetrik atau operasi harus termasuk riwayat medis lengkap. Sebuah pribadi atau sejarah keluarga koagulopati, atau penggunaan pribadi dari antikoagulan, harus didokumentasikan. Pemeriksaan fisik lengkap dapat mengungkapkan memar yang luas atau petechiae. Investigasi untuk menilai status koagulasi harus diperoleh dalam situasi ini dan konsultasi dari disiplin lain dipertimbangkan. Semua prosedur yang diusulkan harus dikaji dengan pasien. Risiko komplikasi termasuk perdarahan harus diuraikan dan diskusi didokumentasikan dalam chart. kondisi klinis tertentu dan manajemen bedah mereka berhubungan dengan peningkatan risiko perdarahan, seperti sebagai kehamilan ektopik, miomektomi, lepasnya plasenta, plasenta previa, dan disease. ganas Dalam beberapa situasi, mungkin tepat untuk perempuan nasihat tentang darah autologus transfusi atau hemodilusi techniques.

askep konstipasi

KATA PENGANTAR

    Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami telah dapat menyelesaikan makalah “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Konstipasi”.
    Kami menyadari bahwa masih terdapat kesalahan pada makalah ini. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan di masa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Padang,     April 2012

Penulis


DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I : Pendahuluan
A.    Latar Belakang
B.    Tujuan
Bab II : Isi
A.    Definisi
B.    Etiologi
C.    Patofisiologi
D.    Manifestasi Klinis
E.    Komplikasi
F.    Penatalaksanaan
G.    Asuhan Keperawatan
Bab III : Penutup
A.    Kesimpulan
Daftar Pustaka


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses (kotoran) kurang, atau fesesnya keras dan kering. Semua orang dapat mengalami konstipasi, terlebih pada lanjut usia (lansia) akibat gerakan peristaltik (gerakan semacam memompa pada usus, red) lebih lambat dan kemungkinan sebab lain. Kebanyakan terjadi jika makan kurang berserat, kurang minum, dan kurang olahraga. Kondisi ini bertambah parah jika sudah lebih dari tiga hari berturut-turut.
Mencegah konstipasi secara umum ternyata tidaklah sulit. Lagi-lagi, kuncinya adalah mengonsumsi serat yang cukup. Serat yang paling mudah diperoleh adalah pada buah dan sayur. Jika penderita konstipasi ini mengalami kesulitan mengunyah, misalnya karena ompong, haluskan sayur atau buah tersebut dengan blender.
B.    Tujuan
a.    Tujuan umum :
Mengetahui dan memahami konsep teori konstipasi dan asuhan keperawatan dalam menangani kasus konstipasi
b.    Tujuan khusus :
1.    Memahami definisi konstipasi
2.    Memahami etiologi konstipasi
3.    Memahami patofisiologis konstipasi
4.    Memahami manifestasi klinis konstipasi
5.    Memahami komplikasi konstipasi pada usia lanjut
6.    Memahami penatalaksanaan konstipasi
7.    Memahami asuhan keperawatan pada konstipasi


BAB II
ISI
A.    Definisi
Konstipasi merupakan defekasi tidak teratur yang abnormal dan juga pengerasan feses tak normal yang membuat pasasenya sulit dan kadang menimbulkan nyeri.
Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar, biasanya kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras dan kadang-kadang disertai kesulitan sampai rasa sakit saat buang air besar (NIDDK, 2000).
Konstipasi adalah suatu keluhan, bukan penyakit (Holson, 2002;Azer, 2001). Pada umumnya konstipasi sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat variasi yang berlainan antara individu (Azer,2001). Penggunaan istilah konstipasi secara keliru dan belum adanya definisi yang universal menyebabkan lebih kaburnya hal ini (Hamdy, 1984). Sedangkan batasan dari konstipasi klinik yang sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah feses pada kolon, rektum atau keduanya yang tampak pada foto polos perut (Harari, 1999).
Para tenaga medis mendefinisikan konstipasi sebagai penurunan frekuensi buang air besar, kesulitan dalam mengeluarkan feses, atau perasaan tidak tuntas ketika buang air besar. Studi epidemiologik menunjukkan kenaikan pesat konstipasi berkaitan dengan usia terutama berdasarkan keluhan penderita dan bukan karena konstipasi klinik. Banyak orang mengira dirinya konstipasi bila tidak buang air besar setiap hari. Sering ada perbedaan pandangan antara dokter dan penderita tentang arti konstipasi (cheskin dkk, 1990).

B.    Etiologi
•    Obat-obatan tertentu (tranquilizer, antikolinergis, antihipersensitif, opioid, antasida dengan aluminium)
•    Gangguan rektal/anal (hemoroid, fisura)
•    Obstruksi (kanker usus)
•    Kondisi metabolis, neurologis, dan neuromuskuler
•    Kondisi endokrin
•    Keracunan timah
•    Gangguan jaringan pembuluh
Faktor penyebab lainnya mencakup kelemahan, imobilitas, kecacatan, keletihan, dan ketidakmampuan untuk meningkatkan tekanan intra-abdomen untuk mempermudah pasase feses, seperti yang terjadi pada emfisema.

C.    Patofisiologi
Patofisiologi konstipasi masih belum dipahami. Konstipasi diyakini, berhubungan dengan pengaruh dari sepertiga fungsi utama kolon : (1) transpor mukosa, (2) aktifitas mioelektrik, atau (3) proses defekasi. Dorongan untuk defekasi secara normal dirangsang oleh distensi rektal melalui empat tahap kerja : rangsangan refleks penyekat rektoanal, relaksasi otot sfingter internal, relaksasi otot sfingter external dan otot dalam region pelvik, dan peningkatan tekanan intra-abdomen. Gangguan salah satu dari empat proses ini dapat menimbulkan konstipasi.
Apabila dorongan untuk defekasi diabaikan, membran mukosa rektal dan muskulatur menjadi tidak peka terhadap adanya massa fekal, dan akibatnya rangsangan yang lebih kuat diperlukan untuk menghasilkan dorongan peristaktik tertentu agar terjadi defekasi. Efek awal retensi fekal ini adalah untuk menimbulkan kepekaan kolon, dimana pada tahap ini sering mengalami spasme, khususnya setelah makan, sehingga menimbulkan nyeri kolik midabdominal atau abdomen bawah. Setelah proses ini berlangsung sampai beberapa tahun, kolon kehilangan tonus dan menjadi sangat tidak responsif terhadap rangsangan normal, akhirnya terjadi konstipasi. Atoni usus juga terjadi pada proses penuaan, dan hal ini dapat diakibatkan oleh penggunaan laksatif yang berlebihan.

D.    Manifestasi Klinis
•    Distensi abdomen
•    Borborigimus
•    Rasa nyeri dan tekanan
•    Penurunan nafsu makan
•    Sakit kepala
•    Kelelahan
•    Tidak dapat makan
•    Sensasi pengosongan tidak lengkap
•    Mengejan saat defekasi
•    Eliminasi volume feses sedikit, keras, dan kering

E.    Komplikasi
•    Hipertensi arterial
•    Imfaksi fekal
•    Hemoroid dan fisura anal
•    Megakolon

F.    Penatalaksanaan
a.    Pengobatan non-farmakologis
1.    Latihan usus besar : melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang disarankan pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya. Penderita dianjurkan mengadakan waktu secara teratur setiap hari untuk memanfaatkan gerakan usus besarnya. dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan reflex gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini.
2.    Diet : peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan usia lanjut. Data epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak serat mengurangi angka kejadian konstipasi dan macam-macam penyakit gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal. Serat meningkatkan massa dan berat feses serta mempersingkat waktu transit di usus. untuk mendukung manfaa serat ini, diharpkan cukup asupan cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk asupan cairan.
3.    Olahraga : cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi konstipasi jalan kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur dan kemampuan pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan perut untuk memeperkuat otot-otot dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni pada otot perut

b.    Pengobatan farmakologis
Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologis, dan biasanya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar :
1.    memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl selulose, Psilium.
2.    melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air. Contohnya : minyak kastor, golongan dochusate.
3.    golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan, misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain : sorbitol, laktulose, gliserin
4.    merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak pleksusmesenterikus dan berakibat dismotilitas kolon. Contohnya : Bisakodil, Fenolptalein.

G.    Asuhan Keperawatan
a.    Pengkajian
Riwayat kesehatan dibuat untuk mendapatkan informasi tentang awitan dan durasi konstipasi, pola emliminasi saat ini dan masa lalu, serta harapan pasien tentang elininasi defekasi. Informasi gaya hidup harus dikaji, termasuk latihan dan tingkat aktifitas, pekerjaan, asupan nutrisi dan cairan, serta stress. Riwayat medis dan bedah masa lalu, terapi obat-obatan saat ini, dan penggunaan laksatif serta enema adalah penting. Pasien harus ditanya tentang adanya tekanan rektal atau rasa penuh, nyeri abdomen, mengejan berlebihan saat defekasi, flatulens, atau diare encer.
Pengkajian objektif mencakup inspeksi feses terhadap warna, bau, konsistensi, ukuran, bentuk, dan komponen. Abdomen diauskultasi terhadap adanya bising usus dan karakternya. Distensi abdomen diperhatikan. Area peritonial diinspeksi terhadap adanya hemoroid, fisura, dan iritasi kulit.

b.    Diagnosa Keperawatan
1.    Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur
2.    Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu makan
3.    Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen

c.    Intervensi Keperawatan
1.    Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur
Tujuan : pasien dapat defekasi dengan teratur (setiap hari)
Kriteria hasil :
•    Defekasi dapat dilakukan satu kali sehari
•    Konsistensi feses lembut
•    Eliminasi feses tanpa perlu mengejan berlebihan

Intervensi
Mandiri
•    Tentukan pola defekasi bagi klien dan latih klien untuk menjalankannya
•    Atur waktu yang tepat untuk defekasi klien seperti sesudah makan
•    Berikan cakupan nutrisi berserat sesuai dengan indikasi
•    Berikan cairan jika tidak kontraindikasi 2-3 liter per hari
Kolaborasi
•    Pemberian laksatif atau enema sesuai indikasi   

2.    Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu makan
Tujuan : menunjukkan status gizi baik
Kriteria Hasil :
•    Toleransi terhadap diet yang dibutuhkan
•    Mempertahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas normal
•    Nilai laboratorium dalam batas normal
•    Melaporkan keadekuatan tingkat energy
Intervensi
Mandiri
•    Buat perencanaan makan dengan pasien untuk dimasukkan ke dalam jadwal makan.
•    Dukung anggota keluarga untuk membawa makanan kesukaan pasien dari rumah.
•    Tawarkan makanan porsi besar disiang hari ketika nafsu makan tinggi
•    Pastikan diet memenuhi kebutuhan tubuh sesuai indikasi.
•    Pastikan pola diet yang pasien yang disukai atau tidak disukai.
•    Pantau masukan dan pengeluaran dan berat badan secara periodik.
•    Kaji turgor kulit pasien

Kolaborasi
•    Pantau nilai laboratorium, seperti Hb, albumin, dan kadar glukosa darah
•    Ajarkan metode untuk perencanaan makan   

3.    Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen
Tujuan : menunjukkan nyeri telah berkurang
Kriteria Hasil :
•    Menunjukkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk mencapai kenyamanan
•    Mempertahankan tingkat nyeri pada skala kecil
•    Melaporkan kesehatan fisik dan psikologisi
•    Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan untuk mencegah nyeri
•    Menggunakan tindakan mengurangi nyeri dengan analgesik dan non-analgesik secara tepat.

Intervensi
Mandiri
•    Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas dari nyeri dengan melakukan penggalihan melalui televisi atau  radio
•    Perhatikan bahwa lansia mengalami peningkatan sensitifitas terhadap efek analgesik opiate
•    Perhatikan kemungkinan interaksi obat – obat dan obat penyakit pada lansia   


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar, biasanya kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras dan kadang-kadang disertai kesulitan sampai rasa sakit saat buang air besar. Konstipasi merupakan masalah umum yang disebabkan oleh penurunan motilitas, kurang aktivitas, penurunan kekuatan dan tonus otot.
Manifestasi klinis yang sering muncul adalah distensi abdomen, borborigimus, Rasa nyeri dan tekanan, penurunan nafsu makan, sakit kepala, kelelahan, tidak dapat makan, sensasi pengosongan tidak lengkap, mengejan saat defekasi, eliminasi volume feses sedikit, keras, dan kering. Komplikasi yang bisa terjadi jika konstipasi tidak diatasi adalah hipertensi arterial, imfaksi fekal, hemoroid dan fisura anal, megakolon
Penatalaksanaan konstipasi pada lansia dengan tatalaksana non farmakologik : cairan, serat, bowel training, latihan jasmani, evaluasi panggunaan obat. Tatalaksana farmakologik : pencahar pembentuk tinja, pelembut tinja, pencahar stimulant, pencahar hiperosmolar dan enema.


DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Carpenito, Juall Lynda. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10. Jakarta: EGC
Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.