Senin, 02 April 2012

jenis-jenis shock

JENIS - JENIS SHOCK

A.    Shock hipovolemik
Selama shock hipovolemik  aliran balik vena ke jantung menurun  pengisian ventrikel drop  stroke volume, cardiac output, tekanan darah menurun.
Faktor pemicu shock hipovolemik;
1.    Perdarahan (pembedahan, trauma, perdarahan GI, gangguan pembekuan darah, ruptur varises eosophagus)
2.    Hilangnya cairan intravaskuler dari kulit menuju jaringan cedera, misal luka bakar
3.    Hilangnya volume darah ok dehidrasi berat
4.    Hilangnya cairan tubuh melalui sistem GI; muntah, diare, suction nasogastrik
5.    Hilangnya cairan akibat pengguanaan diuretik, diabetes inspidus
6.    Ascites, efusi pleura, obstruksi intestinal
Jika volume darah yang hilang < 500ml, aktivasi respomn simpatis biasanya dapat memulihkan CO dan TD mendekati normal, meski pols meningkat (Price & Wilson,1992).
Jika hilangnya volume darah terus berlanjut (1000ml atau lebih) fase shock akan berlanjut.
Initial stage hilangnya darah < 500ml.
Compensatory dan progressive stage  hilangnya darah 25%-35% darah sirkulasi.
Irreversible stage  hilangnya darah 35%-50% darah Sirkulasi
Temuan klinik shock hipovolemik
Jika kehilangan darah >1000ml;
1.    Hypotensi
2.    Pols cepat/lemah
3.    Pernafasan cepat
4.    Kulit dingin, pucat
5.    Status mental: cemas, bingung, agitasi
6.    Oliguri (<30ml/jam)
7.    Haus, asidosis, hiperkalemia, CRT menurun. 
Jika kehilangan 35%-50% volume darah;
1.    Hypotensi; sistolik <80mmHg
2.    Pols cepat/lemah
3.    Pernafasan cracles/whezing
4.    Cyanosis
5.    Status mental: letargi, koma
6.    Anuria

Langkah Diagnosis
Pemeriksaan Laboratorium
a.    Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisis dlakukan, langkah diagnosis selanjutnya tergantung pada penyebab yang mungkin pada hipovolemik, dan stabilitas dari kondisipasienitusendiri.
b.    Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain: analisis Complete Blood Count (CBC), kadar elektrolit (Na, K, Cl, HCO3, BUN, kreatinin, kadar glukosa), PT, APTT, AGD, urinalisis (pada pasien yang mengalami trauma), dan tes kehamilan. Darah sebaiknya ditentukan tipenya dan dilakukan pencocokan.

Penatalaksanaan

Penanganan sebelum di Rumah Sakit
Penanganan pasien dengan syok hipovolemik sering dimulai pada tempat kejadian atau di rumah. Tim yang menangani pasien sebelum ke rumah sakit sebaiknya bekerja mencegah cedera lebih lanjut, membawa pasien ke rumah sakit sesegera mungkin, dan memulai penanganan yang sesuai. Penekanan sumber perdarahan yang tampak dilakukan untuk mencegah kehilangan darah yang lebih lanjut.
Pencegahan cedera lebih lanjut dilakukan pada kebanyakan pasien trauma. Vertebra servikalis harus diimobilisasi, dan pasien harus dibebaskan jika mungkin, dan dipindahkan ke tandu. Fiksasi fraktur dapat meminimalisir kerusakan neurovaskuler dankehilangandarah.
a.    Meskipun pada kasus tertentu stabilisasi mungkin bermanfaat, transportasi segera pasien ke rumah sakit tetap paling penting pada penanganan awal sebelum di rumah sakit. Penanganan definitif pasien dengan hipovolemik biasanya perlu dilakukan di rumah sakit, dan kadang membutuhkan intervensi bedah. Beberapa keterlambatan pada penanganan seperti terlambat dipindahkan sangat berbahaya.
b.    Intervensi sebelum ke rumah sakit terdiri dari immobilisasi (pada pasien trauma), menjamin jalan napas yang adekuat, menjamin ventilasi, dan memaksimalkan sirkulasi.
c.    Dalam penanganan syok hipovolemik, ventilasi tekanan positif dapat mengurangi aliran balik vena, mengurangi cardiac output, dan memperburuk status/keadaan syok. Walaupun oksigenasi dan ventilasi penting, kelebihan ventilasi tekanan positif dapat merusak pada pasien dengan syok hipovolemik.
d.    Penanganan yang sesuai biasanya dapat dimulai tanpa keterlambatan transportasi. Beberapa prosedur, seperti memulai pemberian infus atau fiksasi ekstremitas, dapat dilakukan ketika pasien sudah dibebaskan. Namun, tindakan yang memperlambat pemindahan pasien sebaiknya ditunda. Keuntungan pemberian cairan intravena segera pada tempat kejadian tidak jelas. Namun, infus intravena dan resusitasi cairan harus dimulai dan dilanjutkan dalam perjalanan ke tempat pelayanan kesehatan.

B.    Shock kardiogenik
Kegagalan jantung mengakibatkan ketidakmampuan memepertahankan CO dan perfusi ke jaringan
Penyebab;
1.    Infark miokard
2.    Pericarditis
3.    Henti jantung
4.    Disritmia; fibrilasi atau takhikardi ventrikel
5.    Perubahan patologik pada katup
6.    Komplikasi ok pembedahan jantung
7.    Gangguan elektrolit ok perubahan potassium dan calcium
8.    Obat-obatan yang berefek terhadap kontraktilitas otot jantung
9.    Cedera kepala yang menyebabkan kerusakan pada pusat cardioregulatory
Infark miokard merupakan penyebab utama shock kardiogenik (15%-20% MCI shock kardiogenik).
Kardiogenik menyebabkan CO/MAP menurunkompensasi; HR meningkat  konsumsi oksigen miokard meningkat  menurunkan perfusi koroner iskemia nekrosis
Sianosis umumnya terjadi pada shock kardiogenik
Kegagalan jantung  tekanan ventrikel kiri dan tekanan diastolik meningkat edema paru;
Retensi darah pada ventrikel kanan meningkatkan tekanan arteri kanan  menghambat aliran balik vena distensi vena jugular
Temuan klinik shock kardiogenik
1.    Hypotensi
2.    Pols cepat/lemah
3.    Crackles/whezing, edema paru
4.    Kulit: dingin, pucat, sianosis
5.    Status mental; letargi, koma
6.    Oliguri-anuri
7.    Edema , CVP meningkat, aritmia
Manifestasi Klinis
Syok kardiogenik ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri yang mengakibatkan gangguan mengakibatkan gangguan fungsi ventrikel kiri yaitu mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan yang khas pada syok kardiogenik yang disebabkan oleh infark miokardium akut adalah hilangnya 40% atau lebih jaringan otot pada ventrikel kiri dan nekrosis vocal di seluruh ventrikel karena ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen miokardium. Gmbaran klinis gagal jantung kiri :
a.    Sesak napas dyspnea on effert, paroxymal nocturnal dyspnea
b.    Pernapasan cheyne stokes
c.    Batuk-batuk
d.    Sianosis
e.    Suara serak
f.    Ronchi basah, halus tidak nyaring di daerah basal paru hydrothorax
g.    Kelainan jantung seperti pembesaran jantung, irama gallop, tachycardia
h.    BMR mungkin naik
i.    Kelainan pada foto rontgen

Patofisiologi
Tanda dan gejala syok kardiogenik mencerminkan sifat sirkulasi patofisiologi gagal jantung. Kerusakan jantung mengakibatkan penurunan curah jantung, yang pada gilirannya menurunkan tekanan darah arteria ke organ-organ vital. Aliran darah ke arteri koroner berkurang, sehingga asupan oksigen ke jantung menurun, yang pada gilirannya meningkatkan iskemia dan penurunan lebih lanjut kemampuan jantung untuk memompa, akhirnya terjadilah lingkaran setan.
Tanda klasik syok kardiogenik adalah tekanan darah rendah, nadi cepat dan lemah, hipoksia otak yang termanifestasi dengan adanya konfusi dan agitasi, penurunan haluaran urin, serta kulit yang dingin dan lembab.
Disritmia sering terjadi akibat penurunan oksigen ke jantung.seperti pada gagal jantung, penggunaan kateter arteri pulmonal untuk mengukur tekanan ventrikel kiri dan curah jantung sangat penting untuk mengkaji beratnya masalah dan mengevaluasi penatalaksanaan yang telah dilakukan. Peningkatan tekananakhir diastolik ventrikel kiri yang berkelanjutan (LVEDP = Left Ventrikel End Diastolik Pressure) menunjukkan bahwa jantung gagal untuk berfungsi sebagai pompa yang efektif.

Pemeriksaan Diagnostik
Faktor-faktor pencetus test diagnostik antara lain :
a.    Electrocardiogram (ECG)
b.    Sonogram
c.    Scan jantung
d.    Kateterisasi jantung
e.    Roentgen dada
f.    Enzim hepar
g.    Elektrolit oksimetri nadi
h.    AGD
i.    Kreatinin
j.    Albumin / transforin serum
k.    HSD

Penatalaksanaan
Tindakan umum. Ada berbagai pendekatan pada penatalaksanaan syok kardiogenik. Setiap disritmia mayor harus dikoreksi karena mungkin dapat menyebabkan atau berperan pada terjadinya syok. Bila dari hasil pengukuran tekanan diduga atau terdeteksi terjadi hipovolemia atau volume intravaskuler rendah. Pasien harus diberi infus IV untuk menambah jumlah cairan dalam sistem sirkulasi. Bila terjadi hipoksia, berikan oksigen, kadang dengan tekanan positif bila aliran biasa tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan jaringan.
Farmakoterapi. Terapi medis dipilih dan diarahkan sesuai dengan curah jantung dan tekanan darah arteri rerata. Salah satu kelompok obat yang biasa digunakan adalah katekolamin yang dapat meningkatkan tekanan darah dan curah jantung. Namun demikian mereka cenderung meningkatkan beban kerja jantung dengan meningkatkan kebutuhanoksigen.
Bahan vasoaktif seperti natrium nitroprusida dan nitrogliserin adalah obat yang efektif untuk menurunkan tekanan darah sehingga kerja jantung menurun. Bahan-bahan ini menyebabkan arteri dan vena mengalami dilatasi, sehingga menimbulkan lebih banyak pintasan volume intravaskuler keperifer.
Penatalaksanaan yanglain :
a.    Istirahat
b.    Diit, diit jantung, makanan lunak, rendah garam
c.    Pemberian digitalis, membantu kontraksi jantung dan memperlambat frekuensi jantung. Hasil yang diharapkan peningkatan curah jantung, penurunan tekanan vena, dan volume darah dan peningkatan diuresis akan mengurangi edema. Pada saat pemberian ini pasien harus dipantau terhadap hilangnya dispnea, ortopnea, berkurangnya krekel, dan edema perifer.
d.    Pemberian diuretik, yaitu untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui ginjal. Bila sudah diresepkan harus diberikan pada siang hari agar tidak menganggu istirahat pada malam hari, intake dan output pasien harus dicatat mungkin pasien dapat mengalami kehilangan cairan setelah pemberian diuretik. Pasien juga harus menimbang badannya setiap hari turgor kulit untuk menghindari terjadinya tanda-tandadehidrasi.
e.    Morfin, diberikan untuk mengurangi sesak napas pada asma cardial, hati-hati depresipernapasan.
f.    Terapi vasodilator dan natrium nitropurisida, obat-obatan vasoaktif merupakan pengobatan utama untuk mengurangi impedansi (tekanan) terhadap penyemburan darah oleh ventrikel.


C.    Shock septik
Shock sepsis disebabkan efek toksin yang diproduksi agen infeksius; 
1.    bakteri gram negatif : pseudomonas  aeruginosa, Escherichia coli, dan klebsiella pneumoniae  klebsiella pneumoniae
2.    bakteri gram positif : Clostridium, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumoniae
3.    Jamur : Candida albicans
Penyebab:
1.    Sistem urinari: kateterisasi, cystoscopy
2.    Sistem respirasi: suctioning, aspirasi, trakeostomi, ETT, ventilator
3.    Sistem GI: ulkus peptikum, ruptur appendiks, peritonitis peritonitis
4.    Integumen: luka bedah, kateter intravena, kateter intra-arteri, monitoring invasif, ulkus
5.    dekubitus, luka bakar, trauma
6.    Sistem reproduksi wanita: infeksi intrapartal/postpartal, STD
Shock sepsis diawali dengan septikemia;  endotoksin merusak lapisan endotel pembuluh darah kerusakan seluler pelepasan protein vasoaktif  vasodilatasi perifer & permebilitas kapiler meningkat  perpindahan cairan dari ruang intravaskuler menuju ruang interstitial  hypovolemia matabolisme anaerob  asidosis laktat  kematian seluler
Temuan klinik shock septik
Awal (warm) shock septik
1.    TD normal/hypotensi
2.    Pols cepat/lemah
3.    Pernafasan: cepat/dalam
4.    Kulit hangat
5.    Status mental: alert, orientasi
6.    Urin output normal
7.    Temperatur meningkat, kelemahan, mual, muntah,diare, CVP menurun
Lanjut (cold) shock septik
1.    Hypotensi
2.    Pols; tachicardi, aritmia
3.    Pernafasan: cepat/dalam, dypsnea
4.    Kulit dingin, pucat, edema
5.    Urin output: oliguri/anuri
6.    Temperatur menurun, CVP menurun
Penatalaksanaan
1.    Pengumpulan spesimen urin, darah, sputum dan drainase luka dilakukan dengan tekhnik aseptik.
2.    Pemberian suplementasi nutrisi tinggi kandungan protein secara agresif dilakukan selama 4 hari dari awitan syok.
3.    Pemberian cairan intravena dan obat-obatan yang diresepkan termasuk antibiotik Dopamin, dan Vasopresor untuk optimalisasi volume intravaskuler
Komplikasi
1.    Kegagalan multi organ akibat penurunan aliran darah dan hipoksia jaringan yang berkepanjangan.
2.    Sindrom distres pernapasan dewasa akibat destruksi pertemuan alveolus kapiler karena hipoksia.

D.    Shock neurogenik
Shock neurogenik (shock vasogenik)ketidakseimbangan stimulasi saraf simpatis dan saraf parasimpatis pada otot pembuluh darah
Penyebab :
1.    cedera kepala
2.    cedera spinal
3.    reaksi insulin (hypoglikemia  penurunan glukosa ke medulla)
4.    anestesia spinal
5.    anestesi umum
6.    nyeri hebat
7.    pemaparan panas yang lama
Overstimulasi parasimpatis & understimulasi simpatis  vasodilatasi penurunan SVR TD menurun  penurunan nutrien melewati membran kapilergangguan metabolisme seluler kapiler  gangguan metabolisme seluler
Dilatasi vena  CVP drop  aliran darah balik vena menurun  SV menurun MAP menurun
Temuan klinik shock neurogenik
1.    Hypotensi
2.    Pols lambat
3.    Kulit; hangat, kering
4.    Status mental: cemas, letargi,koma
5.    Oliguri-anuri
6.    Temperatur menurun
Penatalaksanaan
Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif seperti fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan sfingter prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong keluar darah yang berkumpul ditempat tersebut.
1.    Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi Trendelenburg).
2.    Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan menggunakan masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang berat, penggunaan endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan. Langkah ini untuk menghindari pemasangan endotracheal yang darurat jika terjadi distres respirasi yang berulang. Ventilator mekanik juga dapat menolong menstabilkan hemodinamik dengan menurunkan penggunaan oksigen dari otot-otot respirasi.
3.    Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi cairan. Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per infus secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap tekanan darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap terapi.
4.    Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat vasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan seperti ruptur lien) :
a)    Dopamin
Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit, berefek serupa dengan norepinefrin. Jarang terjadi takikardi.
b)    Norepinefrin
Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan darah. Monitor terjadinya hipovolemi atau cardiac output yang rendah jika norepinefrin gagal dalam menaikkan tekanan darah secara adekuat. Pada pemberian subkutan, diserap tidak sempurna jadi sebaiknya diberikan per infus. Obat ini merupakan obat yang terbaik karena pengaruh vasokonstriksi perifernya lebih besar dari pengaruh terhadap jantung (palpitasi). Pemberian obat ini dihentikan bila tekanan darah sudah normal kembali. Awasi pemberian obat ini pada wanita hamil, karena dapat menimbulkan kontraksi otot-otot uterus.
c)    Epinefrin
Pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan sempurna dan dimetabolisme cepat dalam badan. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan pengaruhnya terhadap jantung Sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu bahwa pasien tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok neurogenik.
d)    Dobutamin
Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan oleh menurunnya cardiac output. Dobutamin dapat menurunkan tekanan darah melalui vasodilatasi perifer. Pasien-pasien yang diketahui/diduga mengalami syok neurogenik harus diterapi sebagai hipovolemia. Pemasangan kateter untuk mengukur tekanan vena sentral akan sangat membantu pada kasus-kasus syok yang meragukan.

E.    Shock anaphylactic
Shock anaphylactic terjadi karena reaksi hypersensitif; perubahan fisiologi terjadi akibat seseorang kontak dengan allergen
Alergen penyebab shock anaphylactic:
1.    substansi untuk diagnosis/treatment (antibiotik,vaksin, anestesi lokal, iodine,  darah dan produk darah, narkotik)
2.    makanan (ikan, putih telur, susu, coklat)
3.    gigitan serangga (lebah,semut)
4.    bisa ular
Pada saat pemaparan, reaksi antigen dan antibodi IgE menyebabkan gangguan integritas seluler  histamin & vasoaktif amin dilepaskan dan masuk ke sistem sirkulasi   peningkatan permeabilitas vaskuler dan vasodilatasi massive hipotensi  colaps vaskuler
Shock anaphylactic terjadi sangat cepat, manifestasi muncul stelah 20 menit kontak dengan antigen
Temuan klinik shock anaphylactic
1.    Hypotensi
2.    Pols: meningkat, disritmia
3.    Respirasi: dyspnea, stridor, whezing, laryngospasme, bronchospasme, edema paru
4.    Status mental: cemas, letargi, koma
5.    Urin output: oliguri/anuri
6.    Pruritus, kram abdomen, mual, diare
Diagnosis
Adanya tanda-tanda yang berhubungan dengan syok anafilaktik. Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada pada keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik tidaklah sulit, asal tersedia obat-obat emerjensi dan alat bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal ini diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian atau cacat organ tubuh menetap. Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:
a.    Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
b.    Segera berikan adrenalin 0,3 – 0,5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa atau 0,01 μg/kgBB untuk penderita anak-anak, i.m. Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2 – 4 μg/menit.
c.    Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5 – 6 mg/kgBB i.v dosis awal yang diteruskan 0,4 – 0,9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
d.    Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau deksametason 5 – 10 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel.
e.     Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
a)    Airway ‘penilaian jalan napas’. Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
b)    Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
c)    Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar. Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru.
f.    Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur i.v untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutankristaloid, maka diperlukan jumlah 3–4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20 – 40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin.
g.    Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.
h.    Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diawasi / diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 2 – 3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi.

Pencegahan
Pencegahan syok anafilaktik merupakan langkah terpenting dalam setiap pemberian obat, tetapi ternyata tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan, antara lain:

    Pemberian Obat
a.    Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat.
b.    Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai risiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.
c.    Penting menyadari bahwa tes kulit negatif, pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1 – 3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60% bila tes kulit positif.
d.    Yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik atau anafilaktoid serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Mempertahankan suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan selimut pada penderita untuk mencegah kedinginan dan mencegah kehilanganpanas. Jangan sekali-kali memanaskan tubuh penderita karena akan sangat berbahaya.
    Pemberian Cairan :
a.    Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar, mual-mual, muntah atau kejang karena bahaya terjadinya aspirasi cairan ke dalam paru.
b.    Jangan memberi minum kepada penderita yang akan dioperasi atau dibius dan yang mendapat trauma pada perut serta kepala (otak).
c.    Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak ada indikasi kontra. Pemberian minum harus dihentikan bila penderita menjadi mual atau muntah.
d.    Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.
e.    Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus seimbang dengan jumlah cairan yang hilang. Sedapat mungkin diberikan jenis cairan yang sama dengan cairan yang hilang, darah pada perdarahan, plasma pada luka bakar. Kehilangan air harus diganti dengan larutan hipotonik. Kehilangan cairan berupa air dan elektrolit harus diganti dengan larutan isotonik. Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan kristaloid memerlukan volume 3 – 4 kali volume perdarahan yang hilang, sedang bila menggunakan larutan koloid memerlukan jumlah yang sama dengan jumlah perdarahan yang hilang. Telah diketahui bahwa transfusi eritrosit konsentrat yang dikombinasi dengan larutan ringer laktat sama efektifnya dengan darah lengkap.
f.    Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah pemberian cairan yang berlebihan.
g.    Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian cairan berlebihan yang akan membebani jantung. Harus diperhatikan oksigenasi darah dan tindakan untuk menghilangkan nyeri.
h.    Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan ketat, mengingat pada syok septik biasanya terdapat gangguan organ majemuk (Multiple Organ Disfunction). Diperlukan pemantauan alat canggih berupa pemasangan CVP, “Swan Ganz” kateter dan pemeriksaan analisa gas darah.

F.    Shock Hemoragik
Syok hemoragik merupakan komplikasi yang jarang namun serius, yang mungkin terjadi dalam situasi kandungan atau ginekologi banyak. Perdarahan merupakan penyebab utama kematian ibu di negara berkembang dunia.1 Kematian dan morbiditas sekunder untuk perdarahan menjadi kurang umum karena pengenalan dini dan intervensi dan meningkatkan ketersediaan rekomendasi resources.1Ten medis untuk pengelolaan syok hemoragik adalah
tercantum dalam teks berikut dan telah dinilai sesuai dengan tingkat bukti sebagaimana ditentukan oleh kriteria Kanada Task Force pada Pemeriksaan Kesehatan Berkala  Dengue Shock dalam kebidanan Perdarahan obstetrik sering akut, dramatis, dan meremehkan.
Postpartum hemorrhage merupakan penyebab yang signifikan dari ibu death. Manajemen perdarahan postpartum telah Ulasan secara rinci dalam Pedoman SOGC Clinical Practice untuk Pencegahan dan Manajemen Postpartum Hemorrhage. Dengue Shock DI Ginekologi Sebuah prosedur bedah merupakan anteseden yang paling umum akut ginekologi perdarahan, meskipun pasien kadang-kadang akan hadir dengan perdarahan akut dari kehamilan ektopik pecah atau dari identifikasi Risiko neoplasma adalah penting dalam
konseling pasien sebelum operasi dan dalam persiapan bedah tim. Setiap proses yang mendistorsi anatomi panggul, seperti endometriosis, neoplasma, atau perlekatan, atau yang mengarah ke inflamasi respon mungkin terkait dengan peningkatan intraoperatif kehilangan darah. Identifikasi, isolasi, dan pengendalian cepat perdarahan ditemui selama prosedur akan membatasi kerugian total.
Anatomi panggul dan tengara dari pohon vaskular harus akrab bagi setiap ahli bedah panggul. Pasien dengan perdarahan pasca operasi tertunda dapat hadir dengan perdarahan dari luka atau vagina atau dengan bukti dari suatu hemoperitoneum. Hati-hati pemeriksaan dan resusitasi dengan kontrol yang pasti dan cepat kehilangan darah diperlukan, yang mungkin memerlukan kembali ke ruang operasi.
Presentasi Klinis dan Komplikasi
Syok hemoragik Perdarahan terjadi ketika ada yang berlebihan eksternal atau internal. Sebuah volume darah loss.4 didefinisikan sulit untuk mengukur dalam kebanyakan situasi, dan hilangnya dievaluasi visual seringkali diremehkan. 4 Shock terjadi ketika ada hipoperfusi vital organ. Hipoperfusi mungkin karena kerusakan dari miokardium (syok kardiogenik), infeksi luar biasa terkemuka untuk redistribusi volume sirkulasi ke ekstravaskular yang ruang (syok septik), atau hipovolemia karena parah dehidrasi atau perdarahan (syok hipovolemik) . Tanda dan gejala syok hemoragik akan bervariasi tergantung pada volume dan laju kehilangan darah. Sistem kunci dipengaruhi oleh syok hemoragik adalah pemerintah pusat saraf, jantung, dan ginjal systems.

Patofosiologi
Pada syok hemoragik, pengurangan akut pada volume darah menyebabkan kompensasi simpatis oleh vasokonstriksi perifer, takikardia, dan kontraktilitas miokard meningkat, yang pada gilirannya meningkatkan kebutuhan oksigen miokard untuk, ke tingkat yang tidak dapat maintained.1 bersamaan, jaringan hipoperfusi dari vasokonstriksi precapillary menyebabkan metabolisme anaerobik dan acidosis. Jaringan hipoksia, asidosis, dan pelepasan berbagai mediator menyebabkan inflamasi, sistemik response.  Cedera reperfusi terjadi ketika radikal oksigen yang dilepaskan selama fase akut sistemik diedarkan secara keseluruhan perfusi tubuh restored. humoral dan seluler inflamasi Sistem ini juga diaktifkan, dan berkontribusi vaskular dan seluler injury. Transmigration mikroorganisme dan endotoksin di seluruh hambatan mukosa melemah memberikan kontribusi untuk sistemik sindrom respons inflamasi (SIRS) dan multiple organ failure.

Klasifikasi
Hal ini jenis klasifikasi dapat membantu dalam menentukan volume yang diperlukan untuk penggantian awal, dan tanda-tanda syok tercantum dalam menentukan keparahan kerugian okultisme. Gejala dan gejala sisa perdarahan pada akhirnya berhubungan dengan perfusi jaringan. Rugi kurang dari, atau sama dengan, 15% dari volume darah (dikompensasi shock) tidak dapat dikaitkan dengan perubahan dalam darah tekanan (BP), pulsa, atau isi ulang kapiler. Shock ringan biasanya mudah kompensasi, terutama pada wanita, muda sehat
reproduksi age. kerugian lebih lanjut menyebabkan takikardia, katekolamin sebuah respon ditandai dengan nada simpatik meningkat. Istirahat BP biasanya normal, tetapi perubahan ortostatik pada BP dan pulsa mungkin jelas. Tindakan resusitasi sederhana akan berhasil membalikkan kerugian changes.1Ongoing volume darah mungkin menyalip kemampuan jantung untuk mengkompensasi, dan ditandai takikardia dikaitkan dengan penurunan BP, diklasifikasikan sebagai moderat shock. Dengan perdarahan berlanjut, hipoperfusi jaringan terjadi, menyebabkan metabolisme anaerob dan asidosis, diklasifikasikan sebagai berat
shock. Pasien menunjukkan takikardi dan takipnea dengan kegagalan pernafasan, menjadi oliguria, dan kemudian anuric. Obtundation dan kehilangan kesadaran mungkin juga occur. Cellular disfungsi, diikuti oleh kematian sel, menyebabkan organ multiple kegagalan, sehingga shock.1 ireversibel, 15 Angka kematian di tahap ini adalah lebih dari 30%.

Klinis
 Dari Sistem shock  hemoragik Awal Akhir SSP Perubahan status mental tidak sadar Takikardia gagal jantung jantung Hipotensi ortostatik Aritmia Hipotensi Oliguria ginjal anuria Pernapasan Takipnea Takipnea Kegagalan pernafasan Tidak ada hati kegagalan hati berubah Tidak ada perdarahan mukosa gastrointestinal perubahan Hematologi Anemia Koagulopati Asidosis metabolik Tidak ada Hypocalcemia.

Faktor resiko
Evaluasi dari semua pasien yang datang untuk perawatan obstetrik atau operasi harus termasuk riwayat medis lengkap. Sebuah pribadi atau sejarah keluarga koagulopati, atau penggunaan pribadi dari antikoagulan, harus didokumentasikan. Pemeriksaan fisik lengkap dapat mengungkapkan memar yang luas atau petechiae. Investigasi untuk menilai status koagulasi harus diperoleh dalam situasi ini dan konsultasi dari disiplin lain dipertimbangkan. Semua prosedur yang diusulkan harus dikaji dengan pasien. Risiko komplikasi termasuk perdarahan harus diuraikan dan diskusi didokumentasikan dalam chart. kondisi klinis tertentu dan manajemen bedah mereka berhubungan dengan peningkatan risiko perdarahan, seperti sebagai kehamilan ektopik, miomektomi, lepasnya plasenta, plasenta previa, dan disease. ganas Dalam beberapa situasi, mungkin tepat untuk perempuan nasihat tentang darah autologus transfusi atau hemodilusi techniques.

askep konstipasi

KATA PENGANTAR

    Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami telah dapat menyelesaikan makalah “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Konstipasi”.
    Kami menyadari bahwa masih terdapat kesalahan pada makalah ini. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan di masa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Padang,     April 2012

Penulis


DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I : Pendahuluan
A.    Latar Belakang
B.    Tujuan
Bab II : Isi
A.    Definisi
B.    Etiologi
C.    Patofisiologi
D.    Manifestasi Klinis
E.    Komplikasi
F.    Penatalaksanaan
G.    Asuhan Keperawatan
Bab III : Penutup
A.    Kesimpulan
Daftar Pustaka


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses (kotoran) kurang, atau fesesnya keras dan kering. Semua orang dapat mengalami konstipasi, terlebih pada lanjut usia (lansia) akibat gerakan peristaltik (gerakan semacam memompa pada usus, red) lebih lambat dan kemungkinan sebab lain. Kebanyakan terjadi jika makan kurang berserat, kurang minum, dan kurang olahraga. Kondisi ini bertambah parah jika sudah lebih dari tiga hari berturut-turut.
Mencegah konstipasi secara umum ternyata tidaklah sulit. Lagi-lagi, kuncinya adalah mengonsumsi serat yang cukup. Serat yang paling mudah diperoleh adalah pada buah dan sayur. Jika penderita konstipasi ini mengalami kesulitan mengunyah, misalnya karena ompong, haluskan sayur atau buah tersebut dengan blender.
B.    Tujuan
a.    Tujuan umum :
Mengetahui dan memahami konsep teori konstipasi dan asuhan keperawatan dalam menangani kasus konstipasi
b.    Tujuan khusus :
1.    Memahami definisi konstipasi
2.    Memahami etiologi konstipasi
3.    Memahami patofisiologis konstipasi
4.    Memahami manifestasi klinis konstipasi
5.    Memahami komplikasi konstipasi pada usia lanjut
6.    Memahami penatalaksanaan konstipasi
7.    Memahami asuhan keperawatan pada konstipasi


BAB II
ISI
A.    Definisi
Konstipasi merupakan defekasi tidak teratur yang abnormal dan juga pengerasan feses tak normal yang membuat pasasenya sulit dan kadang menimbulkan nyeri.
Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar, biasanya kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras dan kadang-kadang disertai kesulitan sampai rasa sakit saat buang air besar (NIDDK, 2000).
Konstipasi adalah suatu keluhan, bukan penyakit (Holson, 2002;Azer, 2001). Pada umumnya konstipasi sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat variasi yang berlainan antara individu (Azer,2001). Penggunaan istilah konstipasi secara keliru dan belum adanya definisi yang universal menyebabkan lebih kaburnya hal ini (Hamdy, 1984). Sedangkan batasan dari konstipasi klinik yang sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah feses pada kolon, rektum atau keduanya yang tampak pada foto polos perut (Harari, 1999).
Para tenaga medis mendefinisikan konstipasi sebagai penurunan frekuensi buang air besar, kesulitan dalam mengeluarkan feses, atau perasaan tidak tuntas ketika buang air besar. Studi epidemiologik menunjukkan kenaikan pesat konstipasi berkaitan dengan usia terutama berdasarkan keluhan penderita dan bukan karena konstipasi klinik. Banyak orang mengira dirinya konstipasi bila tidak buang air besar setiap hari. Sering ada perbedaan pandangan antara dokter dan penderita tentang arti konstipasi (cheskin dkk, 1990).

B.    Etiologi
•    Obat-obatan tertentu (tranquilizer, antikolinergis, antihipersensitif, opioid, antasida dengan aluminium)
•    Gangguan rektal/anal (hemoroid, fisura)
•    Obstruksi (kanker usus)
•    Kondisi metabolis, neurologis, dan neuromuskuler
•    Kondisi endokrin
•    Keracunan timah
•    Gangguan jaringan pembuluh
Faktor penyebab lainnya mencakup kelemahan, imobilitas, kecacatan, keletihan, dan ketidakmampuan untuk meningkatkan tekanan intra-abdomen untuk mempermudah pasase feses, seperti yang terjadi pada emfisema.

C.    Patofisiologi
Patofisiologi konstipasi masih belum dipahami. Konstipasi diyakini, berhubungan dengan pengaruh dari sepertiga fungsi utama kolon : (1) transpor mukosa, (2) aktifitas mioelektrik, atau (3) proses defekasi. Dorongan untuk defekasi secara normal dirangsang oleh distensi rektal melalui empat tahap kerja : rangsangan refleks penyekat rektoanal, relaksasi otot sfingter internal, relaksasi otot sfingter external dan otot dalam region pelvik, dan peningkatan tekanan intra-abdomen. Gangguan salah satu dari empat proses ini dapat menimbulkan konstipasi.
Apabila dorongan untuk defekasi diabaikan, membran mukosa rektal dan muskulatur menjadi tidak peka terhadap adanya massa fekal, dan akibatnya rangsangan yang lebih kuat diperlukan untuk menghasilkan dorongan peristaktik tertentu agar terjadi defekasi. Efek awal retensi fekal ini adalah untuk menimbulkan kepekaan kolon, dimana pada tahap ini sering mengalami spasme, khususnya setelah makan, sehingga menimbulkan nyeri kolik midabdominal atau abdomen bawah. Setelah proses ini berlangsung sampai beberapa tahun, kolon kehilangan tonus dan menjadi sangat tidak responsif terhadap rangsangan normal, akhirnya terjadi konstipasi. Atoni usus juga terjadi pada proses penuaan, dan hal ini dapat diakibatkan oleh penggunaan laksatif yang berlebihan.

D.    Manifestasi Klinis
•    Distensi abdomen
•    Borborigimus
•    Rasa nyeri dan tekanan
•    Penurunan nafsu makan
•    Sakit kepala
•    Kelelahan
•    Tidak dapat makan
•    Sensasi pengosongan tidak lengkap
•    Mengejan saat defekasi
•    Eliminasi volume feses sedikit, keras, dan kering

E.    Komplikasi
•    Hipertensi arterial
•    Imfaksi fekal
•    Hemoroid dan fisura anal
•    Megakolon

F.    Penatalaksanaan
a.    Pengobatan non-farmakologis
1.    Latihan usus besar : melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang disarankan pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya. Penderita dianjurkan mengadakan waktu secara teratur setiap hari untuk memanfaatkan gerakan usus besarnya. dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan reflex gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini.
2.    Diet : peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan usia lanjut. Data epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak serat mengurangi angka kejadian konstipasi dan macam-macam penyakit gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal. Serat meningkatkan massa dan berat feses serta mempersingkat waktu transit di usus. untuk mendukung manfaa serat ini, diharpkan cukup asupan cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk asupan cairan.
3.    Olahraga : cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi konstipasi jalan kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur dan kemampuan pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan perut untuk memeperkuat otot-otot dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni pada otot perut

b.    Pengobatan farmakologis
Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologis, dan biasanya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar :
1.    memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl selulose, Psilium.
2.    melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air. Contohnya : minyak kastor, golongan dochusate.
3.    golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan, misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain : sorbitol, laktulose, gliserin
4.    merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak pleksusmesenterikus dan berakibat dismotilitas kolon. Contohnya : Bisakodil, Fenolptalein.

G.    Asuhan Keperawatan
a.    Pengkajian
Riwayat kesehatan dibuat untuk mendapatkan informasi tentang awitan dan durasi konstipasi, pola emliminasi saat ini dan masa lalu, serta harapan pasien tentang elininasi defekasi. Informasi gaya hidup harus dikaji, termasuk latihan dan tingkat aktifitas, pekerjaan, asupan nutrisi dan cairan, serta stress. Riwayat medis dan bedah masa lalu, terapi obat-obatan saat ini, dan penggunaan laksatif serta enema adalah penting. Pasien harus ditanya tentang adanya tekanan rektal atau rasa penuh, nyeri abdomen, mengejan berlebihan saat defekasi, flatulens, atau diare encer.
Pengkajian objektif mencakup inspeksi feses terhadap warna, bau, konsistensi, ukuran, bentuk, dan komponen. Abdomen diauskultasi terhadap adanya bising usus dan karakternya. Distensi abdomen diperhatikan. Area peritonial diinspeksi terhadap adanya hemoroid, fisura, dan iritasi kulit.

b.    Diagnosa Keperawatan
1.    Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur
2.    Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu makan
3.    Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen

c.    Intervensi Keperawatan
1.    Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur
Tujuan : pasien dapat defekasi dengan teratur (setiap hari)
Kriteria hasil :
•    Defekasi dapat dilakukan satu kali sehari
•    Konsistensi feses lembut
•    Eliminasi feses tanpa perlu mengejan berlebihan

Intervensi
Mandiri
•    Tentukan pola defekasi bagi klien dan latih klien untuk menjalankannya
•    Atur waktu yang tepat untuk defekasi klien seperti sesudah makan
•    Berikan cakupan nutrisi berserat sesuai dengan indikasi
•    Berikan cairan jika tidak kontraindikasi 2-3 liter per hari
Kolaborasi
•    Pemberian laksatif atau enema sesuai indikasi   

2.    Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu makan
Tujuan : menunjukkan status gizi baik
Kriteria Hasil :
•    Toleransi terhadap diet yang dibutuhkan
•    Mempertahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas normal
•    Nilai laboratorium dalam batas normal
•    Melaporkan keadekuatan tingkat energy
Intervensi
Mandiri
•    Buat perencanaan makan dengan pasien untuk dimasukkan ke dalam jadwal makan.
•    Dukung anggota keluarga untuk membawa makanan kesukaan pasien dari rumah.
•    Tawarkan makanan porsi besar disiang hari ketika nafsu makan tinggi
•    Pastikan diet memenuhi kebutuhan tubuh sesuai indikasi.
•    Pastikan pola diet yang pasien yang disukai atau tidak disukai.
•    Pantau masukan dan pengeluaran dan berat badan secara periodik.
•    Kaji turgor kulit pasien

Kolaborasi
•    Pantau nilai laboratorium, seperti Hb, albumin, dan kadar glukosa darah
•    Ajarkan metode untuk perencanaan makan   

3.    Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen
Tujuan : menunjukkan nyeri telah berkurang
Kriteria Hasil :
•    Menunjukkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk mencapai kenyamanan
•    Mempertahankan tingkat nyeri pada skala kecil
•    Melaporkan kesehatan fisik dan psikologisi
•    Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan untuk mencegah nyeri
•    Menggunakan tindakan mengurangi nyeri dengan analgesik dan non-analgesik secara tepat.

Intervensi
Mandiri
•    Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas dari nyeri dengan melakukan penggalihan melalui televisi atau  radio
•    Perhatikan bahwa lansia mengalami peningkatan sensitifitas terhadap efek analgesik opiate
•    Perhatikan kemungkinan interaksi obat – obat dan obat penyakit pada lansia   


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi buang air besar, biasanya kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras dan kadang-kadang disertai kesulitan sampai rasa sakit saat buang air besar. Konstipasi merupakan masalah umum yang disebabkan oleh penurunan motilitas, kurang aktivitas, penurunan kekuatan dan tonus otot.
Manifestasi klinis yang sering muncul adalah distensi abdomen, borborigimus, Rasa nyeri dan tekanan, penurunan nafsu makan, sakit kepala, kelelahan, tidak dapat makan, sensasi pengosongan tidak lengkap, mengejan saat defekasi, eliminasi volume feses sedikit, keras, dan kering. Komplikasi yang bisa terjadi jika konstipasi tidak diatasi adalah hipertensi arterial, imfaksi fekal, hemoroid dan fisura anal, megakolon
Penatalaksanaan konstipasi pada lansia dengan tatalaksana non farmakologik : cairan, serat, bowel training, latihan jasmani, evaluasi panggunaan obat. Tatalaksana farmakologik : pencahar pembentuk tinja, pelembut tinja, pencahar stimulant, pencahar hiperosmolar dan enema.


DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Carpenito, Juall Lynda. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10. Jakarta: EGC
Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.