Selasa, 28 Februari 2012

askep abses paru

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN ABSES PARU

A.    DEFINISI
Abses paru adalah suatu kativitas dalam jaringan paru yang berisi material purulen berisikan sel radang akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses infeksi. Bila diameter kavitas < 2 cm dan jmlahnya banyak dinamakan necrotising pneumonia.

B.    ETIOLOGI
Finegolal dan Fisliman mendapatkan bahwa organisme penyebab abses paru lebih dari 98 % adalah bakteri anaerob. Asher dan Beandry mendapatkan bahwa pada anak-anak bakteri penyebab abses paru terbanyak adalah Staphylococcus aureus.
Tipe abses    Organisme
Primer    Staphylococcus aureus.
Haemophilus influenza type B, C, F
Streptococcus viridians, pneumonia
Alpha-hemolytics streptococci
Neisseria sp
Mycoplasma pneumoniae
Sekunder    Aerob
Haemophilus aphropilus, parainfluenzae
Streptococcus group B, intermedius
Klebsiella pneumonia
Escherichia coli, frendii
Pseudomonas pyocyanea, aeruginosa, denitrificans
Aerobacter aeruginosa
Candida
Rhizopus sp.
Aspergillus fumigates
Nocardia sp
    Anaerob
Peptostreptococcus constellatus, intermedius, saccharolyticus
Veillonela sp., alkalenscenens
Bacteroides melaninogenicus, oralis,fragilis, corrodens, distanosis, vulgates, ruminicola, asaccharolyticus
Fusobacteriumnnecrophorum, nucleatum

C.    PATOFISIOLOGI
Garry tahun 1993 mengemukakan terjadinya abses paru meliputi:
a.    Abses paru merupakan proses lanjutan pneumonia akibat inhalasi bakteri pada penderita dengan factor predisposisi. Bakteri bermultifikasi dan merusak jaringan parenkim paru dengan proses nekrosis. Bila berhubungan dengan bronchus, maka terbentuklah air fluid level. Bakteri yang masuk ke parenkim paru, selain karena inhalasi bias juga dengan penyebaran hematogen (septic emboli) atau dengan perluasan langsung dari proses abses ditempat lain ( nesitatum) misalnya abses hepar.
b.    Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita tuberculosis dengan kavitas, akibat inhlasi bakteri mengalami proses peradangan supurasi. Pada penderita emfisema paru atau polisistik paru yang mengalami infeksi sekunder.
c.    Obstruksi bronchus dapat menyebabkan pneumonia berlanjut sampai proses abses paru. Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena kanker bronkhogenik. Gejala yang sama juga terlihat pada aspirasi benda asing yang belum keluar. Kadang-kadang dijumpai juga pada obstruksi karena pembesaran kelenjar limfe peribronkhial.
d.    Pembentukan kavitas pada kanker paru. Pertumbuhan massa kanker bronkhogenik yang cepat tidak diimbangi peningkatan suplai pembuluh darah, sehingga terjadi likufikasi nekrosis sentral. Bila terjadi infeksi, dapat trjadi abses.

D.    MANIFESTASI KLINIS
1.    Gejala klinis 
Gejala klinis yang ada pada abses paru hampir sama dengan gejala pneumonia pada umumnya yaitu:
a.    Panas badan. Dijumpai berkisar 70% – 80% penderita abses paru. Kadang dijumpai dengan temperatur > 400C.
b.    Batuk, pada stadium awal non produktif. Bila terjadi hubungan rongga abses dengan bronkus batuknya menjadi meningkat dengan bau busuk yang khas (Foetor ex oroe (40-75%).
c.    Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oero dijumpai berkisar 40 – 75% penderita abses paru.
d.    Nyeri dada dan Batuk darah
e.    Gejala tambahan lain seperti lelah, penurunan nafsu makan dan berat badan. Pada pemeriksaan dijumpai tanda-tanda proses konsolidasi seperti redup, suara nafas yang meningkat, sering dijumpai adanya jari tabuh serta takikardi.

E.    KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
a.    Beberapa komplikasi yang muncul:
1.    Empiema
2.    Abses otak
3.    Atelektasis
4.    Sepsis
b.    Prognosis
Beberapa factor yang memperbesar angka mortalitas pada abses paru sebagai berikut:
1.    Anemia dan hipoalbuminemia
2.    Abses yang besar
3.    Lesi obstruksi
4.    Bakteri aerob
5.    Immunocompromised
6.    Usia tua
7.    Gangguan intelegensia
8.    Perawatan yang terlambat


PENGKAJIAN KEPERAWATAN

A.    ANAMNESIS
Keluhan utama pada klien abses paru meliputi batuk, sputum purulen dan berbau, demam, dan menggigil dengan suhu >400C, dan sesak nafas.

Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit saat ini pada klien dengan abses paru bervariasi pada tingkat dan lamanya, dari mulai batuk-batuk saja sampai penyakit akut dengan manifestasi klinis yang berat. Biasanya klien mempunyai riwayat penyakit 1-3 minggu dengan gejala demam dan menggigil. Jika abses terletak dekat pleura, mungkin terdapat nyeri dada. Sesak nafas yang dialami biasanya tidak berat kecuali kalau peradangannya luas. Tanda lain yang didapatkan adalah rendahnya nasfsu makan, penurunan BB, dan lemah badan.

Riwayat penyakit dahulu
Biasanya didapat keluhan malaise, penurunan BB, panas badan yang ringan, dan batuk yang  produktif. Adanya riwayat penurunan kesadaran berkaitan dengan sedasi, trauma, dan serangan epilepsy. Riwayat penyalahgunaan obat yang mungkin teraspirasi asam lambung saat berada dalam keadaan tidak sadar atau hanya emboli bakteri di paru akibat suntikan obat.

B.    PENGKAJIAN PSIKO-SOSIO-SPIRITUAL
Pengkajian psikologis klien dengan abses paru didapatkan klien serng mengalami kecemasan sesuai dengan keluhan yang dialaminya seperti batuk, sesak nafas, dan demam yang merupakan stressor penting yang menyebabkan klien cemas. Perawat perlu member dukungan moral dan memfasilitasi pemenuhan informasi dengan tim medis untuk pemenuhan informasi mengenai prognosis penyakit klien
C.    PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum dan TTV
Hasil pemeriksaan TTV pada klien dengan abses paru biasanya didapatkan peningkatan suhu lebih dari 400 C, frekuensi nafas meningkat dari normal, denyut nadi biasanya meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan frekuensi pernafasan, tekanan darah biasanya tidak bermasalah.


Inspeksi
Bentuk dada dan gerakan pernapasan. Bentuk dada biasanya tidak mengalami perubahan. Gerakan pernapasan asimetris di sisi paru yang mengalami lesi, gerakan pernapasan akan tertinggal sesuai dengan banyaknya pus yang terakumulasi diparu. Pada pengkajian frekuensi napas, didapatkan ritme pernapasan cepat dan dangkal.
Batuk dan sputum. Klien mengalami batuk yang produktif dengan sputum banyak dan berbau busuk, purulen berwarna kuning kehijauan sampai hitam kecoklatan karena bercampur darah, atau kadang-kadang batuk dengan darah dalam jumlah yang banyak.

Palpasi
Taktil fremitus pada klien dengan abses paru biasanya normal. Perbedaan penurunan fremitus ditemukan apabila terjadi akumulasi pus.

Perkusi
Saat dilakukan perkusi, didapatkan bunyi redup pada sisi paru yang terkena.

Auskultasi
Jika abses terisi penuh dengan cairan pus akibat drainase yang buruk, suara nafas melemah dan jika bronkhus paten dan drainase baik ditambah adanya konsolidasi di sekitar abses akan terdengar suara nafas bronkhial dan ronkhi basah.

D.    PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan Radiologis
Pada fase permulaan, biasanya terlihat gambaran pneumonia dan kemudian akan tampak daerah radiolusen dalam bayangan infiltrat yang padat dengan batas permukaan udara cairan (air fluid level) didalamnya yang menunjukkan adanya drainase yang tidak sempurna.

Pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan biasanya menunjukkan adanya leukosit terutama polimorfonuklear dengan pergeseran kekiri. Kadang-kadang jumlah leukosit dapat mencapai 20.000-30.000/mm3.
Sputum diperiksa secara makroskopis, bau dan warna sputum, serta pemeriksaan mikroskopis untuk identifikasi organisme, pewarnaan gramnuntuk pemeriksaan bakteri tahan asam, dan biakan untuk jamur serta biakan mikroorganisme aerob dan anaerob.
Besar kavitas biasanya sekitar 4-5 cm dan paling sering terletak di segmen posterior lobus atas kanan. Letak abses dapat timbul di tempat lain bergantung pada posisi klien saat aspirasi dan dapat mengenai lebih dari satu segmen.

E.    PENATALAKSANAAN MEDIS
a.    Medikamentosa
Pilihan pertama antibiotik adalah golongan penisilin. Pada saat ini, dijumpai peningkatan abses paru yang ddisebabkan oleh bakteri anaerob. Oleh karena itu, dapat dipikirkan untuk memilih kombinasi antibiotik antara golongan penisilin G dengan Clindamycin atau dengan metronidazole, atau kombinasi Clindamycin denagn Cepoxitin. Alternatif lain adalah kombinasi Imipenem dengan B Lactamase inhibitase, pada klien dengan pnemonia nosokomial yang berkembang menjadi abses paru. Waktu pemberian antibiotik bergantung pada gejala klinis dan respon radiologis klien. Klien diberikan terapi hingga 2-3 minggu setelah bebas gejala atau adanya resolusi kavitas.

b.    Drainase
Darinase postural dan fisioterapi dada dilakukan 2-5 x seminggu selama 25 menit.

c.    Bedah
Reseksi segmen paru yang nekrosis diperlukan bila:
1.    Respon terhadap antibiotik rendah
2.    Abses yang besr sehingga mengganggu proses ventilasi perfusi
3.    Infeksi paru yang berulang
4.    Adanya gangguan drainase karena obstruksi

F.    DIAGNOSIS KEPERAWAATAN
a.    Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekresi mukus yang kental, kelemahan, upaya batuk buruk, edma trakheal/faringeal.
b.    Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan abses paru
c.    Hipertermi.
d.    Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhab tubuh berhubungan dengan peniungkatan metabolisme tubug dan penurunan nafsu makan sekunder tehadap demam.
e.    Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kerusakan pertukaran gas sekunder tehadap abses paru.
f.    Cemas berhubungan dengan kondisi sakit, prognosis penyakit yang berat.
g.    Kurangnya pemenuhan informasi berhubungan dengan ketidakjelasan sumber informasi.   

askep emfisema

KATA PENGANTAR

    Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami telah dapat menyelesaikan makalah  “Asuhan Keperawatan Pasien dengan Emfisema”.
    Kami menyadari bahwa masih terdapat kesalaha pada makalah ini. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan di masa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Padang,     November 2011

Penulis


DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I : Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Bab II : Pembahasan
A.    Definisi
B.    Klasifikasi
C.    Etiologi
D.    Tanda dan Gejala
E.    Patofisiologi
F.    Pemeriksaan Penunjang
G.    Penatalaksanaan
H.    Asuhan Keperawatan
Bab III : Penutup
A.    Kesimpulan
Daftar Pustaka
Lampiran WOC



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survei Kesehatan Rumat Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT DepKes RI menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronis dan emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia. Penyakit bronchitis kronik dan emfisema di Indonesia meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah orang yang menghisap rokok, dan pesatnya kemajuan industry.
Di negara-negara barat, ilmu pengetahuan dan industri telah maju dengan mencolok tetapi telah pula menimbulkan pencemaraan lingkungan dan polusi. Ditambah lagi dengan masalah merokok yang dapat menyebabkan penyakit bronkitis kronik dan emfisema. Di Amerika Serikat kurang lebih 2 juta orang menderita emfisema. Emfisema menduduki peringkat ke-9 diantara penyakit kronis yang dapat menimbulkan gangguan aktifitas. Emfisema terdapat pada 65 % laki-laki dan 15 % wanita.

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian
Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku mengembang dan terus menerus terisi udara walaupun setelah ekspirasi.(Kus Irianto.2004.216).
Emfisema merupakan morfologik didefisiensi sebagai pembesaran abnormal ruang-ruang udara distal dari bronkiolus terminal dengan desruksi dindingnya.(Robbins.1994.253).
Emfisema adalah penyakit obtruktif kronik akibat kurangnya elastisitas paru dan luas permukaan alveoli.(Corwin.2000.435).

B.    Klasifikasi
Terdapat 2 (dua) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan yang terjadi dalam paru-paru :
a.    Panlobular (panacinar), yaitu terjadi kerusakan bronkus pernapasan, duktus alveolar, dan alveoli. Semua ruang udara di dalam lobus sedikit banyak membesar, dengan sedikit penyakit inflamasi. Ciri khasnya yaitu memiliki dada yang hiperinflasi dan ditandai oleh dispnea saat aktivitas, dan penurunan berat badan.
b.    Sentrilobular (sentroacinar), yaitu perubahan patologi terutama terjadi pada pusat lobus sekunder, dan perifer dari asinus tetap baik. Seringkali terjadi kekacauan rasio perfusi-ventilasi, yang menimbulkan hipoksia, hiperkapnia (peningkatan CO2 dalam darah arteri), polisitemia, dan episode gagal jantung sebelah kanan. Kondisi mengarah pada sianosis, edema perifer, dan gagal napas.

C.    Etiologi
a.    Factor Genetik
Factor genetic mempunyai peran pada penyakit emfisema. Factor genetic diataranya adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar imonoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein alfa – 1 anti tripsin.
b.    Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan menimbulkan jaringan elastik paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema.
c.    Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya bronkitits kronik dan emfisema paru. Secara patologis rokok berhubungan dengan hyperplasia kelenjar mucus bronkus dan metaplasia epitel skuamus saluran pernapasan.
d.    Infeksi
Infeksi menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanya pun lebih berat. Infeksi pernapasan bagian atas pasien bronchitis kronik selalu menyebabkan infeksi paru bagian dalam, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di isolasi paling banyak adalah haemophilus influenzae dan streptococcus pneumoniae.

D.    Tanda dan Gejala
a.    Dispnea
b.    Pada inspeksi: bentuk dada ‘burrel chest’
c.    Pernapasan dada, pernapasan abnormal tidak efektif, dan penggunaan otot-otot aksesori pernapasan (sternokleidomastoid)
d.    Pada perkusi: hiperesonans dan penurunan fremitus pada seluruh bidang paru
e.    Pada auskultasi: terdengar bunyi napas dengan krekels, ronki, dan perpanjangan ekspirasi
f.    Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan umum
g.    Distensi vena leher selama ekspirasi

E.    Patofisiologi
Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru, yaitu penyempitan saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari elastisitas yang berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru. Dengan demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan. Perubahan keseimbangan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru.  Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pankreas.  Asap rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan elastase bertambah banyak. Sedang aktifitas system anti elastase menurun yaitu system alfa- 1 protease inhibator terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan elastin paru dan menimbulkan emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar yaitu yang disebabkan tekanan intra pleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan paru kedalam yaitu elastisitas paru.
Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah paru akan tertutup. Pada pasien emfisema saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Cepatnya saluran nafas menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara pernafasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Sehingga timbul hipoksia dan sesak nafas.

F.    Pemeriksaan Penunjang
a.    Pemeriksan radiologis
Pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan menyingkirkan penyakit-penyakit lain. Foto dada pada emfisema paru
Terdapat dua bentuk kelainan foto dada pada emfisema paru, yaitu :
    Gambaran defisiensi arteri
•    overinflasi
Terlihat diafragma yang rendah dan datar,kadang-kadang terlihat konkaf.
•    oligoemia
Penyempitan pembuluh darah pulmonal dan penambahan corakan kedistal.
    Corakan paru yang bertambah
Sering terdapat pada kor pulmonal, emfisema sentrilobular dan blue bloaters. Overinflasi tidak begitu hebat.
b.    Pemeriksaan fungsi paru
Pada emfisema paru kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
c.    Analisis Gas Darah
Ventilasi yang hampir adekuat masih sering dapat dipertahankan oleh pasien emvisema paru. Sehingga PaCO2 rendah atau normal.Saturasi hemoglobin pasien hampir mencukupi.
d.    Pemeriksaan EKG
Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat defiasi aksis ke kanan dan P-pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF.Voltase QRS rendah.Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 rasio R/S kurang dari 1.

G.    Penatalaksanaan
a.    Penatalaksanaan Umum
1.    Pendidikan terhadap keluarga dan penderita
2.    Menghindari rokok dan zat inhalasi
3.    Menghindari infeksi saluran nafas
b.    Pemberian obat-obatan
1.    Bronkodilator
    Derivat Xantin
    Gol Agonis 2
    Antikolinergik
    Kortikosteroid
2.    Ekspectoran dan Mucolitik
3.    Antibiotik
4.    Terapi oksigen
5.    Latihan fisik
6.    Rehabilitasi
7.    Fisioterapi

H.    Asuhan Keperawatan
a.    Anamnesis
Dispnea adalah keluhan utama emfisema dan mempunyai serangan yang membahayakan. Klien biasanya mempunyai riwayat merokok, batuk kronis yang lama, mengi, serta nafas pendek dan cepat. Gejala diperburuk oleh infeksi pernafasan. Perawat perlu mengkaji obat-obat yang biasa diminum klien, memeriksa kembali setiap jenis obat apakah masih relevan untuk digunakan kembali
b.    Pemeriksaan fisik
1.    Inspeksi
Paru hiperinflasi, ekspansi dada berkurang, kesukaran inspirasi, dada berbentuk barrel chest, dada anterior menonjol, punggung berbentuk kifosis dorsal.
2.    Palpasi
Ruang antar iga melebar, taktik vocal fremitus menurun.
3.    Perkusi
Terdengar hipersonor, peningkatan diameter dada anterior posterior.
4.    Auskultasi
Suara napas berkurang, ronkhi bisa terdengar apabila ada dahak
c.    Diagnosa Keperawatan
1.    Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkhospasme, peningkatan poduksi sekret, sekresi tertahan, dan kelemahan.
Intervensi :
    Auskultasi bunyi napas, catat adanya bunyi napas tambahan, mis., mengi, krekels, ronki.
    Kaji/pantau frekuensi pernapasan, catat rasio inspirasi/ekspirasi.
    Catat adanya derajat dispnea, ansietas, distres pernapasan, penggunaan otot bantu napas.
    Tempatkan/atur posisi pasien senyaman mungkin
    Pertahankan udara lingkungan/minimalkan polusi lingkungan, mis., debu, asap, dll.
    Bantu latihan napas abdomen atau bibir.
    Tingkatkan masukan cairan sampai dengan 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung. Berikan/anjurkan minum air hangat.
2.    Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen dan kerusakan alveoli.
Intervensi :
Mandiri
    Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan, catat penggunaan otot bantu pernapasan, napas bibir.
    Tinggikan kepala tempat tidur, bantu klien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernafas, dorong nafas dalam perlahan.
    Kaji / awasi secara rutin kulit dan warna membran mukosa.
    Anjurkan mengeluarkan sputum, penghisapan bila diindikasikan.
    Auskultasi bunyi nafas, cata area penurunan udara/bunyi tambahan.
    Awasi tanda vital dan irama jantung.
Kolaborasi
    Awasi/gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.
    Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi pasien
3.    Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual/muntah.
Intervensi :
Mandiri
    Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makan. Evaluasi berat badan dan ukutan tubuh.
    Auskultasi bunyi usus.
    Berikan perawatan oral sering, buang secret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai dan tisu.
    Dorong periode istirahat semalam 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan makan porsi kecil tapi sering.
    Hindari makanan penshasil gas dan minuman karbonat.
    Hindari makanan yang sangat panas atau sangat dingin.
    Timbang BB sesuai indikasi
Kolaborasi
    Konsutasi ahli gizi untuk memberikan makanan yang mudah dicerna, secara nutrisi seimbang.
    Kaji pemeriksaan laboratorium.
4.    Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan utama, tidak adekuatnya imunitas, proses penyakit kronis, malnutrisi.
Intervensi :
Mandiri
    Kaji dan awasi suhu tubuh.
    Kaji pentingnya latihan napas, batuk efektif, perubahan posisi sering dan masukan cairan adekuat.
    Observasi warna, karakter dan bau sputum.
    Tunjukan dan bantu pasien tentang pembuangan tisu dan sputum.
    Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat
    Diskusikan kebutuhan nutrisi adekuat.
Kolaborasi
    Berikan antimicrobial sesuai indikasi.
5.    Kurang pengetahuan mengenai kondisi penyakit dan tindakan perawatan berhubungan dengan kurang informasi/tidak mengenal sumber informasi.
Intervensi :
    Jelaskan tentang proses penyakit individu.
    Instruksikan rasional untuk latihan napas, batuk efektif, dan latihan kondisi umum.
    Diskusikan pentingnya menghindari orang yang sedang infeksi pernapasan aktif.
    Kaji efek bahaya merokok dan nasehatkan meghentikan merokok pada pasien dan atau orang terdekat.
    Diskusikan obat pernapasan, efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan.
    Tunjukkan/ajarkan teknik penggunaan inhaler.
    Penting bagi pasien memahami perbedaan antara efek samping mengganggu dan merugikan.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
a.    Emfisema merupakan suatu distensi abnormal ruang udara diluar bronkhiolus terminal dengan kerusakan pada dinding alveoli.
b.    Emfisema dibedakan menjadi dua macam, yaitu panlobular dan sentrilobular.
c.    Penyebab utama emfisema adalah rokok.
d.    Gejala yang muncul pada emfisema, antara lain dispnea, anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan umum.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Carpenito, Lynda Jual. 2002. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC.
Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
Guyton, Arthur C., dkk. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

askep trombositopenia

KATA PENGANTAR

    Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami telah dapat menyelesaikan makalah  “Asuhan Keperawatan Pasien dengan Trombositopenia”.
    Kami menyadari bahwa masih terdapat kesalaha pada makalah ini. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan di masa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya.





Padang,     November 2011


Penulis


DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I : Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Bab II : Pembahasan
A.    Definisi
B.    Etiologi
C.    Tanda dan Gejala
D.    Patofisiologi
E.    Komplikasi
F.    Pemeriksaan Diagnostik
G.    Penatalaksanaan
H.    Asuhan Keperawatan
Bab III : Penutup
A.    Kesimpulan
Daftar Pustaka




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Trombosit atau platelet sangat penting untuk menjaga hemostasis tubuh. Adanya abnormalitas pada vaskuler, trombosit, koagulasi, atau fibrinolisis akan menggangu hemostasis sistem vaskuler yang mengakibatkan perdarahan abnormal/gangguan perdarahan (Sheerwood,2001).
Penegakkan diagnosis tentang penyebab utama gangguan perdarahan amat penting dan hal ini dibutuhkan ketelitian yang cermat, efektif, dan efisien dalam hal
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium yang semata-mata untuk menghindari kesalahan diagnosis. Apapun penyebab gangguan perdarahan, ternyata memberikan gambaran klinis yang hampir sama. Maka dari itu, hampir semua kasus gangguan perdarahan membutuhkan pemeriksaan yang lanjut demi demi tegaknya diagnosis penyakit tersebut (Candrasoma,2005).



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi
Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit kurang dari100.000 / mm3 dalam sirkulasi darah. Darah biasanya mengandung sekitar 150.000-350.000 trombosit/mL. Jika jumlah trombosit kurang dari 30.000/mL, bisa terjadi perdarahan abnormal meskipun biasanya gangguan baru timbul jika jumlah trombosit mencapai kurang dari 10.000/mL.

B.    Penyebab
a.    Berkurangnya produksi atau meningkatnya penghancuran trombosit.
b.    Keadaan trombositopenia dengan produksi trombosit normal biasanya disebabkan oleh penghancuran atau penyimpanan yang berlebihan.
c.    Trombosit dapat juga dihancurkan oleh produksi antibodi yang diinduksioleh obat.
d.    Perusakan atau penekanan pada sumsum tulang.
e.    Kemoterapeutik yang bersifat toksik terhadap sumsum tulang.
f.    Trombosit menjadi terlarut

C.    Tanda dan Gejala
a.    Adanya petekhie pada ekstermitas dan tubuh
b.    Menstruasi yang banyak
c.    Perdarahan pada mukosa, mulut, hidung, dan gusi
d.    Muntah darah dan batuk darah
e.    Perdarahan Gastro Intestinal
f.    Adanya darah dalam urin dan feses
g.    Perdarahan serebral, terjadi 1 – 5 % pada ITP.

D.    Patofisiologi
Fungsi trombosit dapat berubah (trombositopati) melalui berbagai cara yang mengakibatkan semakin lamanya perdarahan. Obat-obat seperti aspirin, indometasin, fenilbutazon menghambat agregasi dan reaksi pelepasan trombosit, dengan demikian menyebabkan perdarahan yang memanjang walaupun jumlah trombosit normal. Pengaruh aspirin tunggal dapat berlangsung selama 7 hari hingga 10 hari.
Protein plasma, seperti yang ditemukan pada makroglobulinemia dan myeloma multiple menyelubungi trombosit, mengganggu adhesi trombosit, retraksi bekuan, dan polimerasi fibrin.

E.    Komplikasi
a.    Syock hipovolemik
b.    Penurunan curah jantung
c.    Purpura, ekimosis, dan petekie

F.    Pemeriksaan Diagnostik
Penurunan produksi trombosit, dibuktikan dengan aspirasi dan biopsy sumsum tulang, dijumpai pada segala kondisi yang mengganggu atau menghambat fungsi sumsum tulang. Kondisi ini meliputi anemia aplastik, mielofibrosis (penggantian unsur-unsur sumsum tulang dengan jaringan fibrosa), leukimia akut, dan karsinoma metastatik lain yang mengganti unsur-unsur sumsum tulang normal.

G.    Penatalaksanaan
Penatalaksanaan trombositopenia biasanya adalah mengobati penyakit yang mendasarinya. Apabila terjadi gangguan produksi trombosit, maka tranfusi trombosit dapat menaikkan angka trombosit dan menghentikan perdarahan atau mencegah perdarahan intracranial. Apabila terjadi penghancuran trombosit yang esksesif, trombosit yang ditransfusikan juga akan dihancurkan dan tidak akan menaikkan angka trombosit.

H.    Asuhan Keperawatan
a.    Anamnesis
1.    Identitas Pasien
2.    Riwayat Kesehatan
    Riwayat kesehatan sekarang
    Riwayat kesehatan dahulu
    Riwayat kesehatan keluarga
b.    Pemeriksaan Fisik
1.    Perdarahan (lokasi, dan beratnya).
2.    Jarang ditemukan organomegali, tidak ikterus atau stigmata penyakit hati kronis.
3.    Tanda infeksi (bakteremia/infeksi HIV)
4.    Tanda penyakit autoimun (artritis, goiter, nefritis, vaskulitis)

c.    Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
1.    Resiko tinggi perdarahan berhubungan dengan Penurunan trombosit dan tergangguanya sistem koagulasi darah.
Intervensi :
    Observasi tanda-tanda perdarahan seperti petekhie, epistaksis, perdarahan pervagina atau rectal.
    Beri es atau agen topikal pada daerah yang memar.
    Anjurkan pasien untuk hati-hati menggosok gigi dan gunakan sikat gigi yang lembut.
    Jelaskan pada pasien dan keluarga, tanda dan gejala perdarahan berat, dan perdarahan akut.
2.    Nyeri berhubungan dengan Kompensasi Limfa (limfe mengalami pembesaran) terhadap penurunan trombosit
Intervensi :
    Selidiki keluhan nyeri
    Awasi tanda vital, perhatikan petunjuk non verbal
    Berikan lingkungan tenang dan kurangi rangsangan penuh stress
    Termpatkan pada posisi nyaman dan sokong sendi

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
a.    Trombositopenia didefinisakan sebagai jumlah trombosit kurang dari100.000 / mm3 dalam sirkulasi darah.
b.    Penyabab dari trombositopenia adalah Berkurangnya produksi atau meningkatnya penghancuran trombosit, Keadaan trombositopenia dengan produksi trombosit normal biasanya disebabkan oleh penghancuran atau penyimpanan yang berlebihan, Trombosit dapat juga dihancurkan oleh produksi antibodi yang diinduksioleh obat, Perusakan atau penekanan pada sumsum tulang, Kemoterapeutik yang bersifat toksik terhadap sumsum tulang, Trombosit menjadi terlarut


DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Carpenito, Lynda Jual. 2002. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC.
Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.

askep multipel sklerosis

KATA PENGANTAR

    Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami telah dapat menyelesaikan makalah  “Asuhan Keperawatan Pasien dengan Multipel Sklerosis”.
    Kami menyadari bahwa masih terdapat kesalaha pada makalah ini. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan di masa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Padang,     Januari 2012

Penulis


DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I : Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Bab II : Pembahasan
A.    Definisi
B.    Etiologi
C.    Patofisiologi / WOC
D.    Manifestasi Klinis
E.    Komplikasi
F.    Asuhan Keperawatan
Bab III : Penutup
A.    Kesimpulan
Daftar Pustaka
Lampiran WOC



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sklerosis Multipel adalah suatu kelainan dimana saraf-saraf pada mata, otak dan tulang belakang kehilangan selubung sarafnya (mielin).System saraf perifer tidak terkena. Respon peradangan berperan menimbulkan penyakit dengan menyebabkan pembengkakan dan edema yang merusak neuron neuron dan menyebabkan pembentukan flak jaringan parut pada myelin.
Mutiple sclerosis merupakan penyakit berat yang secara medis obatnya sampai detik ini belum ditemukan dan sampai sekarang belum ada orang yang sembuh 100 %. Multiple sclerosis memang merupakan penyakit yang terasa atau kelihatan cukup aneh, bukan saja bagi orang lain tetapi juga bagi penderitanya sendiri. Gejala gejala yang timbul terjadi secara tiba tiba dan bias hilang lagi secara sekejap. Atau menetap selama berhari hari atau berminggu minggu atau bahkan berbulan bulan. Penyebab MS belum diketahui secara pasti namun ada dugaan berkaitan dengan virus dan mekanisme autoimun (Clark, 1991).


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi
Multiple sclerosis (MS) merupakan keadaan kronis, penyakit degeneratif dikarakteristikkan oleh adanya bercak kecil demielinasi pada otak dan medulla spinalis.
Multiple sclerosis merupakan penyakit kronis dimana terjadi demielinisasi ireguler pada susunan saraf pusat / perier yang mengakibatkan berbagai derajat penurunan motorik, sensorik dan juga kognitif.
Multiple sclerosis merupakan penyakit kronis dari sistem saraf pusat degeratif dikarakteristikan oleh adanya bercak kecil demielinasi pada otak dan medula spinalis.
MS secara umum dianggap sebagai penyakit autoimun, dimana sistem imun tubuh sendiri, yang normalnya bertanggung jawab untuk mempertahankan tubuh terhadap penyakit virus dan bakteri, dengan alasan yang tidak diketahui mulai menyerang jaringan tubuh normal. Pada kasus ini menyerang sel yang membentuk mielin.

B.    Etiologi
Penyebab MS belum diketahui secara pasti namun ada dugaan berkaitan dengan virus dan mekanisme autoimun (Clark, 1991). Ada juga yang mengaitkan dengan factor genetic.
Ada beberapa factor pencetus, antara lain :
•    Kehamilan
•    Infeksi yang disertai demam
•    Stress emosional
•    Cedera
Faktor presipitasi yang mungkin termasuk infeksi, cedera fisik dan strees emosional, kelelahan berlebihan kehamilan ataupun  seperti faktor ini :
•    Gangguan autoimun (kemungkinan dirangsang / infeksi virus)
•    Kelainan pada unsur pokok lipid mielin
•    Racun yang beredar dalam CSS
•     Infeksi virus pada SSP

C.    Patofisilogi
Pada sklerosis multipel ,demielinasi menyebar tak teratur ke seluruh sistem saraf pusat mielin hilang dari silinder aksis dan akson itu sendiri bergenerasi .Adanya plak/potongan kecil pada daerah yang terkena menyebabkan sklerosis,terhentinya aliran impuls saraf dan menghasilkan bervariasinya manifestasi,yang bergantung pada saraf-saraf yang terkena. Daerah yang paling banyak terserang yaitu saraf optik, khiasma, traktus, serebrum,batang otak, serebelum, dan medula spinalis.

D.    Manifestasi Klinis
•    Kelelahan
•    Kehilangan keseimbangan
•    Lemah
•    Kebas, kesemutan
•    Kesukaran koordinasi
•    Gangguan penglihatan – diplobia, buta parsial / total
•    Kelemahan ekstermitas spastik dan kehilangan refleks abdomen
•    Depresi
•    Afaksia



E.    Komplikasi
•    Infeksi otak karena bakteri atau virus (penyakit Lyme, AIDS, sifilis)
•    Kelainan struktur pada dasar tengkorak dan tulang belakang (artritis berat pada leher,    ruptur diskus spinalis)
•    Tumor atau kista di otak dan medula spinalis (siringomielia)
•    Kemunduran spinoserebelar dan ataksia herediter (penyakit dimana aksi otot tidak teratur atau otot tidak terkoordinasi)
•    Stroke ringan (terutama pada penderita diabetes atau hipertensi yang peka terhadap penyakit ini)
•    Sklerosis amiotrofik lateralis (penyakit Lou Gehrig)
•    Peradangan pembuluh darah di dalam otak atau medula spinalis (lupus, arteritis).

F.    Pemeriksaan Diagnostik
•    Lumbal punction : pemeriksaan elektroforesis terhadap LCS, didapatkan ikatan oligoklonal yakni terdapat beberapa pita immunoglobulin gamma G (IgG).
•     DCT Scan : gambaran atrofi serebral.
•    MRI : menunjukkan adanya plak-plak kecil dan bisa digunakan mengevaluasi perjalanan penyakit dan efek dari pengobatan.
•    Urodinamik : jika terjadi gangguan urinarius.
•    Neuropsikologik : jika mengalami kerusakan kognitifif.

G.    Penatalaksanaan
•    Bersifat simtomatik : sesuai dengan gejala yang muncul
•    Farmakoterapi :
    Kortikosteroid, ACTH, prednisone sebagai anti inflamasi dan dapat meningkatkan konduksi saraf.
    Imunosupresan : siklofosfamid (Cytoxan), imuran, interferon, Azatioprin, betaseron.
    Baklofen sebagai antispasmodic
•    Blok saraf dan pembedahan dilakukan jika terjadi spastisitas berat dan kontraktur untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
•    Terapi fisik untuk mempertahankan tonus dan kekuatan otot

H.    KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
a.    Pengkajian
a)    Identitas
Pada umunya terjadi pada orang-orang yang hidup di daerah utara dengan temperatus tinggi, terutama pada dewasa muda (20-40th) dan dua kali lebih banyak pada wanita daripada pria.
b)    Keluhan Utama
Muncul keluhan lemah pada anggota badan bahkan mengalami spastisitas / kekejangan dan kaku otot, kerusakan penglihatan.
c)    Riwayat Penyakit Dahulu
Biasanya klien pernah mengalami pengakit autoimun.
d)    Riwayat Penyakit Sekarang
Pada umunya terjadi demilinasi ireguler pada susunan saraf pusat perier yang mengakibatkan erbagai derajat penurunan motorik, sensorik, dan juga kognitif
b.    Pemeriksaan Fisik
a)    Keadaan Umum
Klien dengan multipel sklerosis umumnya tidak mengalami penurunan kesadara. Adanya perubahan pada tanda vital meliputi bradikardi, hipotensi, dan penurunan frekuensi pernafasan yang berhubungan dengan bercak lesi di medula spinalis.
•    Inspeksi
    Batuk
    Peningkatan produksi sputum
    Sesak nafas
    Penggunaan otot bantu nafas
•    Palpasi
    Taktil fremitus seimbang kiri dan kanan
•    Perkusi
    Suara resonan pada seluruh lapangan paru
•    Auskultasi
    Adanya stridor, ronkhi dengan peningkatan produksi sekret
    Kemampuan batuk yang menurun pada klien dengan inaktifitas

c.    Diagnosa Keperawatan
a)    Hambatan mobilitas fisik b/d kelemahan, paresis, dan spastisitas.
b)    Resti cedera b/d kerusakan sensorik dan penglihatan, dampak tirah baring lama, kelemahan spastis.
c)    Defisit perawatan diri b/d perubahan kemmpuan merawat diri sendiri.
d)    Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake nutrisi yang tidak adekuat
e)    Perubahan pola eliminasi urine b/d kelumpuhan saraf perkemihan
f)    Resti gangguan integritas kulit b/d tirah baring lama
g)    Perubahan proses fikir b/d disfungsi serebri
h)    Koping individu tidak efktif b/d perubahan proses fikir dan disfungsi akibat perkembangan penyakit
i)    Perubahan peran dalam keluarga
j)    Hambatan manajemen pemeliharaan rumah b/d keterbatasan fisik, psikologis dan sosial
k)    Resiko terhadap disfungsi seksual b/d keterlibatan atau reaksi psikologis terhadap kondisi.